
ING NGARSA SUNG TULADHA
Oleh: Muhammad Ansori*
Dalam sistem sosial, kemasyarakatan maupun politik, pemimpin memiliki peran strategis untuk menentukan arah perjalanan suatu kelompok, organisasi, bahkan pada kontek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran, tindakan, ucapan maupun berbagai prilaku pemimpin bukan hanya penting bagi dasar lahirnya sebuah kebijakan bagi mereka yang dipimpinnya, tetapi figur seorang pemimpin juga merupakan cerminan nilai, moral, dan budaya masyarakatnya. Atas dasar ini, dalam memilih pemimpin, paling tidak harus didasarkan pada bibit, bebet, dan bobot sejak sebelum dipilih atau terpilih menjadi pemimpin.
Bibit, kosakata dalam bahasa Jawa ini secara harfiah bermakna benih yang akan ditanam., atau secara lebih luas dapat dimaknai sebagai asal-usul, keturunan, integritas dasar, latar belakang keluarga, dan nilai moral yang diwariskan. Pemimpin yang lahir dari keluarga yang memiliki kebiasaan baik, berlatar belakang pemimpin, memiliki reputasi terhormat akan berpengaruh baik secara genetik maupun membawa kebiasaan yang akan memunculkan karakter seseorang sesuai dengan lingkungan dan kebiasaan yang diciptakan sejak dalam keluarga.
Bebet, secara harfiah bisa dimaknai dengan kepantasan, kelayakan sosial dan relasi. Bebet bisa juga dimaknai segala hal yang berkaitan dengan status sosial, maupun kemampuan seseorang menempatkan diri di tengah masyarakat, mudah bergaul dan mudah diterima dalam pergaulan sosial, mempunyai kemampuan komunikasi yang baik, jaringan sosial yang luas. Ucapan, tindakan dan prilaku yang lahir dari seorang pemimpin dinilai pantas dan layak dari segi norma hukum dan agama maupun secara etika.
Sedangkan Bobot lebih menekankan pada makna kualitas dan kompetensi diri baik dari sisi wawasan dan intelektual, spiritual, kecerdasan emosional, kebijaksanaan, maupun keterampilan mengendalikan emosi, mengambil keputusan serta karakter baik lain.
Dengan pembahasaan lain di berbagai ajaran agama, norma maupun aturan hukum, ketiga hal tersebut selalu dicantumkan menjadi syarat ideal seorang pemimpin. Hal ini tidak lepas dari hakikat bahwa sebagian “nasib”, hak hidup dan kehidupan masyarakat diserahkan kepada seorang pemimpin melalui berbagai kebijakan pemimpin.
Di masyarakat jawa, terdapat sebuah falsafah kehidupan yang juga mengajarkan tentang pola kepimimpinan. Falsafah kepemimpinan yang pernah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara bisa dipetik maknanya serta diberlakukan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, masyarakat bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Falsafat tersebut berbunyi “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Falsafat ini menegaskan bahwa pemimpin harus mampu memosisikan dirinya diberbagai posisi. Di depan, seorang pemimpin harus memberi teladan melalui sikap prilaku maupun ucapannya, di tengah-tengah, seorang pemimpin harus membangun semangat dengan hadir bersama rakyat/anggotanya, memberi motivasi dan menggerakkan partisipasi, serta ketika di belakang, seorang pemimpin harus memberi dukungan.
Pemimpin sebagai teladan
Seorang pemimpin adalah panutan. Ia menjadi pusat perhatian, tempat orang mengambil contoh, sekaligus arah dalam bertindak. Keteladanan seorang pemimpin akan memberikan pengaruh jauh lebih kuat dibandingkan instruksi lisan atau kebijakan tertulis. Mengutip kalimat yang pernah disampaikan oleh Dwight D. Eisenhower yang bisa dibaca pada wikiquote.org, disampaikan bahwa “The supreme quality for leadership is unquestionably integrity”. Integritas seorang pemimpin adalah fondasi utama. Pemimpin yang jujur, adil, dan konsisten akan menumbuhkan kepercayaan dan kepercayaan merupakan modal sosial yang sangat berharga bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang berintegritas diantaranya ditunjukkan melalui sikap kerja, kedisiplinan, dan kepedulian terhadap sesama.
Pemimpin sebagai cermin masyarakat
Jika ingin mengetahui sebagian besar karakter orang dari sebuah kelompok, maka lihatlah bagaimana karakter pemimpin mereka. Kalimat ini sangat relevan, karena seseorang akan cenderung memilih dan/atau dipilih orang dengan karakter yang sama. Dalam komunitas yang lebih besar, seorang pemimpin atau kepala negara akan mencerminkan karakter kolektif rakyat yang dipimpinnya. Jika masyarakat memiliki tradisi kuat akan kejujuran, kepemimpinannya pun akan lahir dari nilai yang sama.
Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Joseph de Maistre dalam karya Lettres et Opuscules yang menyatakan bahwa “A nation gets the government it deserves.”. Ungkapan ini menegaskan bahwa pemimpin lahir dari kultur masyarakatnya. Bila masyarakat permisif terhadap korupsi, maka pemimpin yang lahir pun cenderung mencerminkan kelemahan tersebut. Sebaliknya, bila masyarakat menuntut akuntabilitas, maka lahir pemimpin yang lebih transparan.
Relevansi di Era Modern
Di era globalisasi dan digitalisasi, pemimpin tidak hanya dilihat dari panggung formal, tetapi juga melalui jejak digital dan keseharian yang mudah terekam publik. Setiap tindakan menjadi cermin yang diperbesar. Karena itu, komitmen serta konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah tuntutan yang tak bisa dihindari bagi seorang pemimpin.
Dalam konteks apapun dan dimanapun, pemimpin dituntut tidak sekedar memenuhi tugas dan menggugurkan kewajiban, akan tetapi bagaimana sikap, moral, pemikiran juga bisa menjadi contoh yang bisa dan mudah ditiru oleh masyarakatnya. Pemimpin yang meneladankan sikap dan perilaku baik, maka akan mudah menumbuhkan kepercayaan masyarakatnya, dan dari kepercayaan ini maka gagasan, kebijakan, keputusan maupun berbagai rencana yang akan dijalankan akan didukung oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Ketika pemimpin gagal menjadi teladan, kepercayaan publik runtuh. Namun, ketika pemimpin mampu mencerminkan nilai luhur masyarakat, maka lahirlah kepemimpinan yang berwibawa, berpengaruh, bahkan berkelanjutan.
Untuk itu, pemahaman, kemauan, serta kemampuan untuk menjalankan tiga falsafah tersebut manjadi penting agar dalam kehidupan bersosial masyarakat akan menjadi lebih seimbang. Pemimpin yang baik akan membawa kebaikan pula bagi mereka yang dipimpinnya, melalui sikap dan prilaku keteladanan.
Ini membuktikan bahwa konsep ing ngarsa sung tuladha bukan sekadar falsafah Jawa, melainkan sudah menjadi prinsip universal kepemimpinan. Sikap dan perilaku pemimpin merupakan bahasa yang mampu menggerakkan hati dan pikiran orang lain. Dengan memberi contoh nyata, pemimpin bukan hanya dihormati, tetapi juga dicintai dan diikuti dengan sepenuh hati. Dengan demikian, hubungan antara pemimpin dan masyarakat adalah simbiosis yang saling menentukan.
Pemimpin membentuk masyarakat melalui keteladanan, sementara masyarakat membentuk pemimpin melalui nilai-nilai yang dijunjung.
Masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik, sementara pemimpin yang baik akan menuntun masyarakat menjadi lebih baik.
*Ka.div Sosdiklihparmas KPU Kabupaten Klaten