Opini

APATISME POLITIK DAN ANCAMAN DEMOKRASI

APATISME POLITIK DAN ANCAMAN DEMOKRASI

Oleh: Muhammad Ansori*

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Apatis diartikan sebagai acuh tak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh.  Sedangkan menurut beberapa ahli, apatis diartikan dalam beberapa sudut pandang. Seperti pernah dikutip Ahmed dan kawan-kawan, dalam jurnal Reasons for Political Interest and Apathy Among University Students: A Qualitative Study, yang terbit pada tahun 2012 dijelaskan pandangan Solmitz tentang apatis, yaitu ketidakpedulian individu di mana seseorang tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional. Albertine Minderop juga memberikan penjelasan apatis dari sudut pandang psikologi dalam buku Psikologi Sastra (2011), yang mengartikan bahwa apatis merupakan bentuk lain dari reaksi terhadap frustrasi yang kemudian tercermin dalam sikap menarik diri seakan-akan pasrah.

Sementara dari beberapa pengertian, apatis secara umum diartikan sebagai sikap kurang minat, tidak antusias, atau emosi terhadap sesuatu sehingga menunjukkan sikap diam/tidak memberikan respon baik secara emosional, sosial, maupun fisik.

Dari berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa apatis merupakan sikap reaktif dari sebuah rangkaian peristiwa atau kejadian, dan bukan semata karena niatan sedari awal. Sehingga orang yang apatis cenderung memiliki pengetahuan, pengalaman atas sebuah peristiwa yang dialami secara berkali-kali. Bahkan diantara mereka yang bersikap apatis sudah melalui proses perlawanan terhadap peristiwa yang tidak sejalan dengan prinsip, pandangan atau pemikiran mereka akan tetapi belum menemukan jalan terang sehingga hal yang mereka lawan tidak sesuai harapan mereka atau yang seharusnya. Kemudian dari rangkaian hal tersebut mulai muncul rasa resah, lelah, kecewa, merasa tidak berdaya, hingga pada puncaknya mereka mengambil sikap tidak peduli.

Sikap demikian bisa menjangkiti semua individu dalam berbagai isu atau kepentingan bahkan peristiwa. Baik berkaitan dengan individu, sosial kemasyarakatan, agama dan keyakinan, kebudayaan, teknologi politik dan banyak hal lain.

Sikap apatis pada kontek politik – terutama politik praktis, bisa ditunjukkan melalui berbagai sikap seperti tidak peduli atau tidak mau terlibat ketika ada even politik seperti pemilihan umum, sengaja tidak menggunakan hak pilihnya di TPS (golongan putih/golput), bahkan sampai tidak peduli atas hasil Pemilu. Diantaranya juga tidak tertarik untuk terlibat dalam pembahasan atau diskusi-diskusi politik karena berpikir bahwa apapun hasil politik tidak memberikan banyak pengaruh kepada kehidupan mereka. Mereka juga apatis dan cenderung tidak percaya kepada kinerja pemerintah sebagai hasil dari proses pemilihan karena sistem yang berlaku tidak berbeda dengan sistem sebelum-sebelumnya, sehingga menganggap bahwa perubahan kepemimpinan tidak akan membawa kepada perubahan yang lebih baik.

Apatis tidak terjadi tiba-tiba

Tentu sikap demikian pada hal dan saat tertentu akan melemahkan sistem demokrasi, karena pangkal rusuk dari demokrasi adalah suara rakyat yang di implementasikan melalui penggunaan hak pilih di TPS.

Akan tetapi, hal yang perlu sama-sama disadari adalah bahwa sikap apatis muncul bukanlah sikap yang tiba-tiba. Apatis merupakan akumulasi perasaan yang ditimbulkan karena kejadian yang berkali-kali terjadi sebelumnya. Selain, beberapa faktor lain yang bisa mendorong seseorang untuk bersikap apatis. Beberapa faktor tersebut antaralain:

  • Faktor Individu:

Peristiwa yang dialami oleh seseorang tentu sangat beragam. Akan tetapi secara garis besar, seorang individu sampai pada titik kulminasi untuk bersikap apatis secara umum bisa dikarenakan adanya akumulasi pengalaman yang dialami pada proses-proses politik sebelumnya. Misalnya, setelah berkali-kali pemilu, ternyata tidak bisa membawa dampak terhadap kehidupan pribadi dan keluarganya, masih sulitnya mencari pekerjaan, taraf hidup yang sama saja, kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik dan sebagainya. Dari perinstiwa-peristiwa tersebut kemudian dia merasa bahwa keadaan setelah proses pergantian kepemimpinan sama saja dan tidak seperti janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye.

Meskipun banyak faktor penyebab, akan tetapi tidak terpenuhinya janji-janji kampanye secara berulang dapat merubah harapan individu pemilih menjadi bersikap apatis.

Hal lain yang mungkin bisa mempengaruhi seorang individu bersikap apatis adalah kekalahan atas calon yang dia usung, atau banyaknya informasi negatif yang diterima secara kurang berimbang sehingga memperkuat pengambilan sikap politik seorang individu tersebut menjadi apatis. Bisa juga karena mental, kurangnya serapan informasi dan sebagainya

  •  Faktor Lingkungan:

Sebagaimana kita pahami bahwa diantara yang memberi pengaruh besar atas sikap seseorang adalah lingkungan atau pergaulan. Seseorang yang terbiasa berkumpul di lingkungan orang-orang yang kecewa akan mudah memberi pengaruh kekecewaan terhadap seorang individu. Bisa juga seseorang yang berada pada sebuah wilayah atau daerah yang merasa diperlakukan kurang adil, seperti kurang tersentuh pembangunan, tidak pernah disambangi atau diperhatikan oleh pemimpin yang terpilih dari proses pemilu, kekayaan daerah yang dikelola oleh pemerintah tidak membawa kesejahteraan kepada lingkungan dan masyarakatnya, adanya berbagai kasus yang ada di lingkungan pemerintahan terdekat serta berbagai peristiwa serupa juga mudah mempengaruhi seseorang untuk bersikap apatis.

  • Faktor peristiwa dan kejadian

Penyelenggaraan pemilihan berkali-kali tapi kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak berkurang bahkan menjadi-jadi, proses administrasi terkait kepentingan masyarakat seperti mengurus surat kependudukan, surat kendaraan, tanah yang masih ribet, pelayanan  atau kebijakan Pendidikan, kesehatan maupun sektor lain yang berbelit-belit, juga merupakan faktor munculnya sikap apatis terhadap proses politik.

Selain itu, penyelenggara pemilu pada proses penyelenggaraan dinilai kurang jurdil, masih tingginya kasus money politic maupun kasus pelanggaran lain yang oleh masyarakat dianggap tidak tuntas penanganannya, adanya kecurigaan masyarakat atas terjadinya kecurangan pemilu, juga dapat memicu individu kehilangan kepercayaan terhadap proses politik dan menjadi apatis.

Hal lain yang secara langsung bisa menjadi pemicu adalah arus informasi terkait perkembangan politik yang mem-bombardir lini platform media – terutama media sosial, tanpa filter yang baik dan sering menimbulkan perdebatan un-faedah serta kadang justru menyesatkan membuat masyarakat jenuh dan bingung sehingga memilih untuk tidak mau tahu dan tidak mengikuti perkembangan informasi politik yang berujung pada sikap acuh tak acuh atas segala hal yang berkaitan dengan proses dan situasi politik.

Jadi, penting untuk menjadi catatan dan pengingat bahwa sikap apatis politik seringkali merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor individu, lingkungan maupun rangkaian informasi dan peristiwa yang dialami individu di masyarakat. 

Pemetaan atas faktor penyebab sikap apatisme di masyarakat ini penting dilakukan guna merumuskan upaya sekaligus langkah konkrit dalam mengembangkan strategi dalam mencegah dan mengatasinya. Upaya ini tentu harus dilakukan bersama-sama dan serentak, terukur serta terarah oleh berbagai pihak pemangku kepentingan yang terlibat mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, individu pelaku politik, serta organisasi/lembaga/instansi terkait.

Beberapa langkah yang harus diambil diantaranya adalah menggencarkan pendidikan politik, memperkuat literasi politik di masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat secara langsung dalam berbagai even politik, menciptakan budaya politik yang beradap, responsif serta berpihak kepada masyarakat sebagai upaya menguatkan kepercayaan masyarakat, menciptakan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, aksesibel serta efektif dan efisien. Upaya pencegahan dan penanganan oleh berbagai pihak ini harus dilakukan secara strategis agar proses demokrasi yang sudah berjalan di Indonesia tetap berjalan pada ruh demokrasi yang sebenarnya, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat**.

 

*Kadiv. Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan

SDM

** Beberapa upaya ini akan dijabarkan pada artikel selanjutnya.

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 3,498 kali