Opini

JANGANLAH ADA GOLPUT DI ANTARA KITA

JANGANLAH ADA GOLPUT DI ANTARA KITA

Oleh Primus Supriono*)

Apakah ada dusta dalam dunia politik dan penyelenggaraan Pemilu sehingga ada saja, bahkan cenderung meningkat fenomena golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu? Seiring dengan era keterbukaan dan kemudahan mengakses setiap informasi tentang agenda politik saat ini, setidaknya nilai “kejujuran” dalam politik dan penyelenggaraan Pemilu tersaji dengan baik di mata masyarakat. Sejumlah penyempurnaan regulasi dan pengawasan yang tajam dalam penyelenggaraan Pemilu saat ini, paling tidak telah mereduksi dusta dalam praktik politik dari waktu ke waktu.

Jika segala dusta dalam praktik politik dan dusta di setiap penyelenggaraan Pemilu telah sedemikian dihilangkan, mengapa masih ada saja kecenderungan golput di antara kita? Bukankah ruang partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap agenda politik penyelenggaraan Pemilu telah sedemikian dibuka lebar? Bukankah agenda politik dan setiap penyelenggaraan Pemilu akan menentukan arah masa depan bangsa dan negara di mana kita ada di dalamnya? Oleh karena itu, sebaiknya ke depan janganlah ada golput lagi di antara kita.

Golput bukanlah pilihan. Golput bukan pula sebuah Solusi. Bahkan, golput justru merugikan kita sebagai komunitas masyarakat yang berhimpun dalam kesatuan sebuah negara.

Bukankah juga ada istilah Latin yang berbunyi minus malum. Yang secara harafiah berarti: selalu ada pilihan lebih baik dari antara yang kurang baik. Selalu ada pilihan yang lebih baik dari antara partai politik, calon legislatif, dan calon pemimpin yang ditawarkan dalam Pemilu.

 

Mengenali Golput

Golput adalah salah satu istilah yang cukup populer dalam dunia politik dan penyelenggaraan Pemilu. Istilah golput (golongan putih) muncul pertama kali menjelang Pemilu 1971. Penggunaan istilah golput pertama kali dicetuskan oleh Imam Waluyo, namun diproklamirkan dan dipopulerkan oleh aktivis demokrasi yang bernama Arief Budiman.

Istilah 'putih' dalam golput berarti menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara di luar gambar partai peserta Pemilu. Istilah golput identik dengan sikap tidak memilih atau tidak memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara Pemilu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), golput adalah akronim dari golongan putih. Sementara itu, menurut situs Rumah Pemilu, golput adalah sikap tidak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama tempat pemungutan suara (TPS). Jadi, golput adalah istilah yang digunakan ketika seseorang sebagai pemilih tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam Pemilu.

Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, menurut Nyarwi Ahmad (2009), ada lima jenis golput di Indonesia. Pertama, golput teknis. Golput teknis adalah mereka yang gagal menyalurkan hak pilihnya, contohnya tidak bisa datang ke TPS karena suatu alasan, seperti di luar domisili, keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah, atau namanya tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) akibat kesalahan penyelenggara Pemilu.

Kedua, golput pemilih hantu. Pemilih hantu atau ghost voter mengacu pada nama-nama yang ada dalam DPT, tetapi setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena berbagai alasan. Misalkan saja, nama yang terdaftar di DPT ternyata sudah meninggal, atau nama pemilih ternyata terdaftar ganda dan sudah mencoblos di tempat lain.

Ketiga, golput ideologis. Golput ideologis adalah mereka yang tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang tengah berlaku. Kelompok golput ideologis ini menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elite dan tidak memegang kedaulatan rakyat secara mutlak. Golput ideologis juga digambarkan sebagai bagian dari gerakan anti-state yang menolak kekuasaan negara.

Keempat, golput pragmatis. Golput pragmatis adalah mereka yang tidak ikut mencoblos karena menganggap Pemilu tidak memberi keuntungan langsung bagi pemilih. Golput jenis ini menilai bahwa mencoblos ataupun tidak mencoblos, diri mereka tidak akan merasakan pengaruh ataupun perubahan apa-apa.

Dan kelima, golput politis. Golput politis adalah orang-orang yang percaya pada negara dan Pemilu. Hanya saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka.

 

Angka Golput

Sejak Pemilu 1955 angka golput cenderung terus meningkat. Bila dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, golput sejak Pemilu 1955 sudah cukup sebesar. Menurut Desi Purnamasari (2018), persentase golput pada Pemilu 1955 sebesar 8,60%, Pemilu 1971 sebesar 3,40%, Pemilu 1977 sebesar 3,50%, Pemilu 1982 sebesar 3,50%, Pemilu 1987 sebesar 3,60%, Pemilu 1992 sebesar 4,90%, Pemilu 1999 sebesar 7,30%, Pemilu 2004 sebesar 15,90%, Pemilu 2009 sebesar 29,10%, dan Pemilu 2014 sebesar 24,89%. Serta menurut berbagai sumber, Pemilu 2019 sebesar 18,02 dan Pemilu 2024 sebesar 19,80%.

Memang benar tingginya angka golput tidak berpengaruh terhadap keabsahan hasil Pemilu. Dan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pun tidak dapat dipidanakan. Sebab, memilih dalam Pemilu merupakan hak, bukan kewajiban. Namun demikian, kecenderungan angka golput yang semakin meningkat dari Pemilu ke Pemilu haruslah menjadi peringatan serius semua pihak untuk melakukan upaya peningatan kesadaran dan tanggung jawab politik masyarakat, sekaligus perbaikan kualitas sistem politik demokrasi kita termasuk penyelenggaraan Pemilu.

Upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab politik masyarakat dan perbaikan sistem politik demokrasi kita tersebut, hendaknya beranjak dari apa sih akar penyebab golput. Ada beberapa penyebab seseorang memilih tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu.

Pertama, apatis bahkan alergi terhadap politik. Akibat kehidupan politik dan kecenderungan perilaku yang ditampilkan oleh pelaku politik mengakibatkan masyarakat tidak hanya apatis tetapi juga alergi terhadap agenda politik. Masyarakat kelompok ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Masyarakat kelompok ini tidak peduli dengan urusan dan tanggung jawab politik sebagai warga negara. Pendek kata, “politik dan Pemilu bukan urusan saya.”

Kedua, tidak tahu adanya Pemilu dan bagaimana menggunakan hak pilihnya. Sosialisasi dan pendidikan pemilih yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik peserta Pemilu, dan kelompok-kelompok peduli Pemilu dalam masyarakat dirasa kurang memadai dalam memberikan informasi. Masih cukup banyak masyarakat yang tidak mengetahui kapan hari pemungutan suara Pemilu dilaksanakan, siapa dan apa saja yang dipilih, serta bagaimana menggunakan hak pilihnya.

Dan ketiga, tidak terfasilitasi dengan maksimal bagi masyarakat penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Selain sosialisasi dan pendidikan pemilih yang kurang maksimal, juga dirasa kurang penyiapan tenaga pendamping, sarana penunjang, pelaksana pemungutan suara di lapangan, dan TPS yang aksesibel bagi kelompok masyarakat ini. 

Mari fenomena ini menjadi kesadaran kita bersama untuk berbenah, agar ke depan tidak ada lagi golput di antara kita. *** (Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,427 kali