
Media Sosial, Ancaman dan Antisipasi Polarisasai Sosial Politik Di Masyarakat
Media Sosial, Ancaman dan Antisipasi Polarisasai Sosial Politik Di Masyarakat
*Muhammad Ansori
“Saya lagi gemes kalau mengamati media sosial tentang Indonesia saat ini”
Diantara kita mungkin pernah mendengar kalimat keluh diatas dari sebagian warga masyarakat atau mungkin justru merasakan tentang berbagai fenomena dan berita yang akhir-akhir ini muncul dan membanjiri beranda di berbagai platfom media sosial, terutama berkaitan dengan isu politik. Banyak isu-isu yang menggelegar tentang berbagai keadaan yang terjadi di Indonesia yang sering kita lihat melalui beranda-beranda media sosial. Padahal ada beberapa dari kita yang tidak tahu menahu, bahkan apa pula yang ingin mengikuti berita-berita tersebut dengan berbagai alasan. Akan tetapi, tetap saja berita-berita tersebut sering tampil di beranda-beranda media sosial, sehingga membuat kita penasaran sehingga sesekali muncul rasa ingin tahu isi berita dan informasi tersebut.
Sementara, ada beberapa tipe pengguna media sosial dalam menanggapi isu sosial politik yang berkembang di Tengah masyarakat. Ada diantaranya memang sangat inten mengikuti bahkan mencari (searching) tentang isu-isu terhangat, ada yang tidak mau tahu dan menghindar, ada juga sebagian yang justru menjadi sumber atau secara langsung memunculkan atau memicu sebuah isu agar jadi bahan perbincangan di masyarakat.
Penyebabnyapun bisa berbagai ragam. Ada yang karena memang ingin tahu lebih banyak tentang informasi terkini, ada yang hanya ikut-ikutan dan terbawa arus, ada juga yang mencari dan mendapat manfaat secara sosial maupun ekonomi jika isu yang dimunculkan menjadi viral, banyak dilihat atau mendapat komentar dari nitizen. Sementara mesin algoritma yang ada di media sosial hanya berdasar kuantitas seberapa banyak gambar atau tayangan tersebut muncul dan menjadi perhatian publik, dan mungkin hanya sedikit yang terfilter ketika ada bahasa, gambar atau hal lain yang menyebabkan diskusi atau perdebatan di media sosial sehingga membawa dampak negatif, yang salah satunya adalah adanya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.
Dari berbagai alasan dan kepentingan tersebut, ada hal yang sangat mungkin mengiringi informasi di media sosial tersebut yaitu adanya informasi palsu (hoax) atau propaganda bahkan fitnah yang baik secara sengaja maupun tidak sengaja dikembangkan oleh seseorang atau sekelompok orang demi mendapatkan keuntungan sosial, terkenal sampai kepada keuntungan secara ekonomi, tanpa melihat bahwa apa yang mereka unggah atau sebarkan berpotensi merusak mental, menimbulkan kebencian satu dengan lain sampai pada timbulnya perpecahan pandangan baik secara ideologi, politik sehingga mengancam kenyamanan sosial masyarakat dan stabilitas keamanan negara.
Meskipun Pemerintah telah berusaha membuat berbagai aturan tentang hal ini, akan tetapi masih saja kita jumpai berbagai informasi yang mengarah pada berita palsu dan ujaran kebencian. Bahkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 sudah tercantum jelas tentang aturan sampai dengan sanksi dan hukuman terkait kejahatan di dunia digital, termasuk media sosial. Seperti pada Pasal 28 ayat 1 dan 2 sudah disebutkan bahwa:
- Pasal 28 Ayat (1):
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
- Pasal 28 Ayat (2):
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."
Maka akan mendapatkan Ancaman Hukuman dikenai pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar (sesuai Pasal 45A UU 19/2016).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang ancaman hukuman bagi mereka penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yaitu dengan ancaman pidana 10 tahun penjara (Pasal 14 ayat 1) dan apabila masuk dalam kategori berita tidak pasti atau berlebihan bisa dikenakan ancaman 2 tahun penjara (pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946). Selain 2 undang-undang tersebut, peraturan serupa juga terdapat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Meskipun tidak spesifik mengatur tentang media sosial, namun menyentuh penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk ujaran kebencian. Peraturan lain juga tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2013 Tentang Teknis Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), memberikan panduan kepada kepolisian dalam menangani ujaran kebencian baik secara lisan, tulisan, media sosial, hingga simbol. Bahkan saat ini juga sudah terbit Undang-undang Nomor. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan mulai berlaku tahun 2026 (menggantikan beberapa pasal dalam UU ITE dan KUHP lama) tetapi tetap mengatur soal penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, dengan penekanan pada asas keadilan restoratif dan pendekatan preventif.
Maka untuk menjadi kehati-hatian bagi kita semua perlu menjadi pengetahuan bersama tentang apa saja bentuk ujaran kebencian agar kita tidak terjebak atau dikarenakan ketidaktahuan kita sehingga kita tidak sadar telah melakukan ujaran kebencian atau ikut menyebarkan berita palsu. Adapun yang termasuk dalam ujaran kebencian tersebut meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong.
Berbagai aturan sebagai daya control bermedia ini, meskipun dalam sudut pandang tertentu, hal ini kadang dinilai bertabrakan dengan hak dan kebebasan berekspresi, akan tetapi apapun alasannya jika yang kita sebarkan adalah berita palsu yang bernada kebencian maka hal ini akan menimbulkan dampak negatif bagi mereka yang terpapar informasi tersebut, selain itu harus disadari pula bahwa ada potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan. Untuk itu, agar media sosial tetap bisa menjadi salah satu alternatif sarana persebaran informasi maupun berbagai aktifitas baik, maka dalam menyampaikan informasi atau kegiatan di media sosial harus disertai dengan etika dan norma dalam menyampaikan informasi.
Kembali lagi ditekankan bahwa diantara berbagai sarana persebaran informasi yang ada di masyarakat, media sosial telah menjadi faktor sangat signifikan. Dalam kontek dampak negatifnya, media sosial juga sangat cepat dan ampuh sebagai faktor terciptanya dan meningkatnya polarisasi di masyarakat. Hal ini dikarenakan daya jangkau media sosial menembus berbagai batasan ruang, usia, tempat dan waktu.
Dalam kontek politik, media sosial juga berfungsi sebagai sarana yang baik dan efektif untuk menginformasikan berbagai hal positif, demikian juga jika digunakan untuk hal-hal negatif akan berlaku sama. Dikarenakan berbagai kemungkinan dampak tersebut, maka dalam even penyelenggaraan politik- seperti pemililhan umum, media sosial menjadi salah satu hal yang diatur secara khusus dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang penggunaan media sosial dalam berkampanye atau sosialisasi, seperti tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilu sebagaimana tertuang pada pasal 37 dan 38.
Bagaimana kita seharusnya bersikap
Seperti sedikit disinggung diatas bahwa sebagai bagian dari masyarakat yang sangat mungkin terpapar dampak dari bermedia sosial, perlu dimahami tentang beberapa hal, diantaranya:
- Mengetahui berbagai aturan dan ancaman tentang media sosial
Seperti disampaikan diatas, aturan-aturan tersebut perlu diketahui masyarakat sehingga lebih bijak dalam menggunakan media sosial terutama ketika mendapatkan, membaca, mengunggah, berkomentar atas isu-isu yang menyangkut tentang sosial, politik yang berkembang di masyarakat.
- Mengenali mekanisme media sosial
Meskipun untuk bisa mengenali mekanisme pada media sosial perlu analisa dan pengetahuan lebih, akan tetapi bagaimana system algoritma yang muncul dari aktifitas bermedia sosial harus kita ketahui sebagai salah satu Upaya antisipasi agar kita tidak terjebak pada polarisme sebagai dampak dari media sosial.
Perlu diketahui bahwa algoritma atau grafik penggunaan media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan politik pengguna. Jadi, pengguna akan banyak terpapar informasi yang menguatkan pandangan mereka dan sebaliknya mereka akan sedikit paparan informasi dari perspektif yang berbeda. Hal ini tentu akan memicu dan menguatkan bahwa apa yang kita nilai benar menjadi keyakinan bahwa itu benar dan mereka yang berpandangan lain akan semakin kita nilai bahwa pandangan mereka adalah salah. Dampak lanjut dari pandangan semacam ini adalah secara cepat atau lambat polarisasi sosial akan tumbuh dan terbentuk dalam diri individu pengguna media sosial. Ketika potensi polarisasi pada setiap individu sudah terbentuk maka fanatisme kita terhadap prinsip, pandangan bahkan terhadap tokoh tertentu semakin kuat dan sebaliknya kebencian kita terhadap pandangan lain yang berbeda dengan kita akan semakin kuat pula.
Pada tingkat ini, seringkali mendorong kita untuk ikut ambil bagian dalam mempertajam polarisasi tersebut dengan sekedar memberikan tanda suka, berkomentar bahkan pada tahap lanjut kita memunculkan tulisan atau informasi menyerang kepada mereka yang berpandangan lain dengan kita.
Harus disadari juga bahwa interaksi kita di media sosial seringkali terjadi dimana pengguna hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Hal ini tentu akan memperkuat bias kognitif dan menghambat dialog konstruktif antar kelompok yang berbeda pendapat, yang dalam teori sosial media sering disebut dengan "eko kamar" (echo chamber).
- Saring sebelum Sharing
Kalimat ini sering kita dengar bahkan sepakati. Meski demikian, pandangan dan keyakinan kita yang sudah terdapat benih polarisasi, seringkali lupa bahwa ada mekanisme cek dan ricek, menyaring, membandingkan berbagai sumber berita sebelum kita menyepakati apalagi ikut menguatkan dan menyebarluaskan atas berita yang kita terima melalui media sosial.
Yang harus disadari bahwa, media sosial menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi palsu atau hoaks sebagai upaya penggiringan opini publik. Bahkan seringkali juga kita dapati beberapa informasi yang secara terang-terangan menyerang seseorang atau kelompok tertentu, yang jika kita tidak lakukan saring berita, kita akan cepat sekali membenarkan berita tersebut jika sesuai dengan pandangan kita, sebaliknya kita akan mudah membantah informasi tersebut jika berbeda dengan pandangan kita. Efeknya, seperti disebut diatas bahwa kita akan semakin fanatik buta atau mengalami kebencian akut terhadap seseorang atau kelompok tertentu.
- Lakukan kontrol terhadap diri kita atas berbagai hal dari media sosial.
Bagi pengguna aktif media sosial, berselancar mencari informasi terhadap hal-hal yang kita sukai merupakan candu tersendiri. Jika kita tidak mampu melakukan kontrol atas diri kita sendiri, maka kita akan semakin rawan terkena virus polarisasi atas isu-isu yang selalu ada dan berkembang di media sosial, sehingga hal ini entah sedikit atau banyak pasti berdampak pada pandangan sosial, ideologi, politik bahkan keagamaan kita atau mempengaruhi pola hidup dan kehidupan kita sehari-hari.
Kontrol atas diri kita sendiri ini merupakan cara cukup ampuh agar kita tidak terjebak atau bahkan larut pada hal-hal negatif yang ditimbulkan dari media sosial. Penting untuk meningkatkan literasi digital dan mengembangkan strategi untuk memoderasi konten online serta mempromosikan dialog yang konstruktif untuk mengurangi dampak negatif polarisasi politik di media sosial.
*Kadiv. Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM
KPU Kabupaten Klaten