
MEMAKNAI KPU SEBAGAI PENYANGGA DEMOKRASI
MEMAKNAI KPU SEBAGAI PENYANGGA DEMOKRASI
Oleh Primus Supriono*)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota kini memasuki babak baru pascapelantikan 961 kepala daerah secara serentak oleh Presiden Prabowo Subianto di istana negara pada 20 Februari 2025 yang lalu. Kepala daerah pilihan rakyat sudah ditetapkan melalui pemilihan serentak tahun 2024. Pemerintahan di daerah sudah mulai bekerja melakukan pelayanan kepada masyarakat, serta menggulirkan roda pembangunan daerah.
Agenda demokrasi lima tahunan itu telah usai. Seluruh tahapan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang menjadi tugas pokok dan fungsi utama KPU di semua tingkatan telah selesai. Kini pertanyaannya, apakah peran, tugas, dan tanggung jawab KPU dengan demikian juga telah usai? Peran dan tugas strategis apa yang hendaknya dilaksanakan dan dikembangkan oleh KPU pascatahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah?
Pemutakhiran Data Pemilih dan Pendidikan Politik
Jawabannya sangat jelas dan tegas, yaitu belum usai. Peran dan tugas KPU sebagai salah satu penyangga demokrasi belumlah usai. Bahkan, hendaknya semakin diperkuat dan dikembangkan terutama pascatahapan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dalam mewujudkan dan memperkokoh kedaulatan rakyat.
Mengapa demikian? Jika pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat, maka ia tentu membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan. Dinamika data kependudukan yang berpengaruh terhadap data pemilih haruslah senantiasa dimutakhirkan secara berkelanjutan. Sebab, dari data pemilih yang mutakhir dan valid ini akan mendasari berbagai kebijakan dan penataan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah pada masa yang akan datang.
Kemutakhiran dan validitas data pemilih sangat mempengaruhi penatakelolaan logistik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Dari kemutakhiran dan validitas data pemilih ini juga akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dan legitimasi wakil rakyat, pemerintahan, dan kepala daerah yang terbentuk melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Lebih dari itu, perwujudan kedaulatan rakyat membutuhkan pondasi yang kokoh melalui pendidikan politik bagi pemilih secara berjenjang dan berkelanjutan. Mana mungkin kedaulatan rakyat dapat dibentuk hanya setiap lima tahun sekali pada saat penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah saja. Kedaulatan rakyat hanya dapat dibentuk melalui pendidikan politik bagi pemilih secara terus-menerus.
Adalah mustahil kesadaran kolektif dalam bentuk kedaulatan rakyat dapat diwujudkan hanya selama masa kampanye pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang hanya sekitar enam puluh hari. Tidak mungkin rakyat dapat berdaulat atas pilihan politiknya hanya melalui program sosialisasi dan pendidikan pemilih saja menjelang hari pemungutan suara pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Terlalu naif jika kedaulatan rakyat hanyalah masalah teknis bagaimana rakyat menggunakan hak pilihnya pada saat hari pemungutan suara. Pilihan politik yang cerdas, bebas, dan bertanggung jawab tentulah dibangun dari sebuah proses pendidikan politik yang panjang dan terus-menerus. Inilah peran dan tugas strategis KPU yang harus dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus. Tanpa proses itu, maka demokrasi (baca: kedaulatan rakyat) hanya akan terjebak pada persoalan administratif dan prosedural. Konstruksi di permukaan tampak seolah sebagai sistem demokrasi, namun tidak didirikan di atas pondasi kebebasan, kecerdasan, dan kesadaran kolektif masyarakat demokratif.
Demokrasi Substantif
Kini pertanyaan penegasnya, seberapa penting dan bermaknanya demokrasi bagi kita sebagai warga negara sehingga harus dibangun melalui pendidikan politik secara konsisten dan berkelanjutan kepada masyarakat? Sebab, hingga hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Menurut Freedom House, kini tidak kurang terdapat 123 negara demokrasi elektoral.
Hanya saja persoalannya, demokrasi seperti apa yang hendaknya kita hidupi dan kembangkan? Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya.
Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah.
Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif betul-betul dapat diwujudkan. Dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya. Dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif, maka penyandang disabilitas dan Lansia, mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga mempunyai persamaan dan keadilan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Peran Strategis KPU
Peran dan tugas KPU untuk melaksanakan pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan dan pendidikan pemilih yang juga secara berkelanjutan, adalah upaya bagaimana agar demokrasi kita melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak terjebak pada persoalan-persoalan administratif dan prosedural semata. Melalui pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan dan pendidikan pemilih berkelanjutan, diharapkan demokrasi yang kita hidupi dan kembangkan adalah demokrasi substantif.
Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang dikembangkan dengan semangat demokrasi substantif, memiliki komitmen yang kuat terhadap tata kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, haruslah secara penuh menerapkan prinsip demokrasi yang hakiki. Hal ini misalnya dapat diukur dari tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan demokrasi, serta terjaminnya setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga negara.
Inilah peran dan tugas strategis KPU pascatahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang harus dikembangkan dan diperkuat. Semoga melalui upaya ini, KPU dapat menjadi salah satu penyangga bagi tegaknya kedaulatan rakyat dan terwujudnya demokrasi substantif. *** (Ir. Primus Supriono, S.TP, Ketua KPU Kabupaten Klaten)