Opini

MENEMUKAN (kembali) DEMOKRASI YANG COCOK DAN KHAS INDONESIA

MENEMUKAN (kembali) DEMOKRASI

YANG COCOK DAN KHAS INDONESIA

Oleh Primus Supriono*)

 

Demokrasi adalah sebuah keniscayaan di era modern ini. Sebab, demokrasilah yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, kebebasan, kesetaraan, dan terwujudnya kesejahteraan. Dengan sistem ini, memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintahan, serta mengontrol kekuasaan politik agar terhindar dari tindak sewenang-wenang. Selain itu, demokrasi juga menawarkan kebebasan berekspresi individu atau kelompok, serta stabilitas dan kedamaian dalam masyarakat.

Pendek kata, demokrasi merupakan solusi tata kelola pemerintahan modern. Tidak ada pintu lain selain demokrasi yang dapat mengantarkan pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Melalui jalan demokrasilah pemerintahan yang bersih, stabilitas sosial, dan kedamaian dalam masyarakat dapat tercipta.

Salah satu ciri negara demokrasi adalah terselenggaranya Pemilu yang memungkinkan terjadinya pergantian kekuasaan politik secara teratur dan damai. Kita pantas berbangga, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 13 kali. Namun demikian, mengapa seakan perwujudan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita nasional masih jauh dari harapan? Jangan-jangan kita mempunyai masalah dengan kualitas demokrasi dalam setiap penyelenggaraan Pemilu? Ataukah demokrasi yang kita laksanakan saat ini tidak sesuai dengan jati diri bangsa yang khas dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia?

 

Kualitas Demokrasi

Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya.

Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah.

Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

Economist Intelligence Unit (EIU) merumuskan lima indikator untuk menentukan kualitas demokrasi suatu negara. Kelima indikator tersebut adalah proses Pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan masyarakat sipil. Berdasarkan skor demokrasi yang diraih, EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim, yakni demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

EIU merilis laporan skor demokrasi 167 negara tahun 2020. Dengan skala 10 sebagai negara demokrasi sempurna, Norwegia memiliki skor demokrasi sebesar 9,87. Norwegia dinilai memiliki komitmen yang kuat terhadap tata kehidupan demokrasi. Bahkan, EIU menyebut Norwegia sebagai negara yang secara penuh menerapkan prinsip demokrasi. Norwegia dinilai memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan demokrasi, serta terjaminnya setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga negara.

Bagaimana kualitas demokrasi Indonesia dibandingkan negara-negara lain? Dilaporkan oleh EIU, Indonesia memiliki kualitas demokrasi dengan skor yang rendah. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor demokrasi 6,30. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari tahun 2019 yang sebesar 6,48. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat atau negara demokrasi tidak sempurna.

 

Mengutamakan Musyawarah Mufakat

Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. ... Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid”.

Jelas bahwa sejak awal Indonesia merdeka, para pendiri bangsa ingin membangun demokrasi Indonesia yang berasaskan permusyawaratan perwakilan untuk mufakat, sebagaimana terdapat pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demokrasi khas Indonesia ini, kita hendak mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Yakni, untuk melindungi segenap suku bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bangsa Indonesia bersepakat bulat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat demokratis berdasarkan Pancasila.

Itulah konsepsi dasar demokrasi Pancasila yang khas, cocok, dan disepakati untuk Indonesia. Mengenai pengertian demokrasi Pancasila, pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong” (CSIS, 1978).

Namun demikian, semakin hari praktik demokrasi kita tanpa disadari semakin bercita rasa liberal ala Barat. Begitu dominannya tradisi voting dalam setiap pengambilan keputusan berbarengan dengan biaya politik tinggi, adalah bukti betapa semakin liberalnya praktik demokrasi kita. Hal ini jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila. Selain itu, praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat tersebut, juga tidak menghadirkan nilai lebih berupa penguatan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Pemilu sebagai pesta demokrasi cenderung melahirkan demokrasi prosedural dengan biaya tinggi. Praktik transaksional dan budaya politik uang yang menjadi mata rantai tumbuhnya korupsi menjadi semakin merajalela.

 

Demokrasi Substantif Khas Indonesia

Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil betul-betul hendak dilaksanakan. Dalam demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Dalam model demokrasi ini, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Tidak ada pembatasan, intervensi, dan pengaruh dalam bentuk apa pun yang memengaruhi kebebasan masyarakat untuk memilih. Partisipasi politik haruslah inklusif, yakni memungkinkan semua kelompok masyarakat termasuk yang rentan dan berkebutuhan khusus dapat berpartisipasi tanpa rasa takut.

Dengan demikian, model demokrasi substantif yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Yakni, demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Oleh karena itu, dalam undang-undang Pemilu yang baru haruslah menjamin terwujudnya demokrasi substantif, serta iklim persaingan politik yang sehat. Peserta Pemilu harus memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan kontestasi politik.

Menilik penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila dan dampak buruk dalam praktik demokrasi cita rasa liberal di Indonesia akhir-akhir ini, hendaklah dilakukan evaluasi atas sistem dan praktik politik kita. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini hendaklah dikawal agar tercipta demokrasi substantif dengan tetap mengedepankan keutamaan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Dengan upaya ini, maka kita dapat tetap berharap menemukan kembali demokrasi Pancasila, yakni demokrasi substantif yang cocok dan khas untuk Indonesia dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. *** (Primus Supriono – Ketua KPU Kabupaten Klaten)

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 748 kali