
PEMILU SEBAGAI GERBANG DEMOKRASI YANG SESUNGGUHNYA
PEMILU SEBAGAI GERBANG DEMOKRASI YANG SESUNGGUHNYA
Menyambut Revisi Undang-undang Pemilu
Oleh Primus Supriono*)
Pemilu tidak hanya sebagai salah satu ciri negara demokrasi, tetapi menjadi pintu gerbang menuju demokrasi yang sesungguhnya. Dalam demokrasi yang sesungguhnya, Pemilu yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Keadilan dan kesetaraan ini juga berlaku bagi setiap peserta Pemilu untuk memenangkan kontestasi politik. Sebab, Pemilu pada dasarnya diselenggarakan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Pendek kata, dalam demokrasi yang sesungguhnya ini, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pemilu diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya.
Sebaliknya dalam demokrasi formal-permukaan, menurut Jeff Hayness (2000), dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dalam demokrasi formal-permukaan, Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan derajat yang rendah.
Tentu bukan demokrasi formal-permukaan seperti itu yang akan kita wujudkan. Oleh karenanya, revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan pelaksanaannya saat ini dirasa sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Revisi itu tentu sebagai upaya mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Pemilu yang akan kita selenggarakan pada 2029 dan seterusnya adalah betul-betul Pemilu yang menjadi pintu gerbang demokrasi yang sesungguhnya untuk mengantarkan pada kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Jajak Pendapat Litbang Kompas
Disebutkan dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dirilis 26 Mei 2025, sebanyak 71,3 persen responden lebih meminati cara pemberian suara dalam Pemilu (terutama Pemilu legislatif) tetap menggunakan sistem pemilihan proporsional terbuka. Pada sistem ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih langsung wakilnya di lembaga legislatif sehingga mendorong akuntabilitas dan kedekatan antara wakil rakyat dengan konstituennya.
Selain itu, jajak pendapat Litbang Kompas tersebut juga menyoroti isu keserentakan pemilihan presiden, pemilihan legistalif, dan pemilihan kepala daerah. Sebanyak 59,1 persen responden lebih memilih pilpres dan pileg digelar serentak di hari yang sama. Namun, sebanyak 38,3 persen responden menghendaki antara pilpres dan pileg diselenggarakan secara terpisah.
Jajak pendapat itu juga merekam, sebanyak 68,1 persen responden menghendaki antara pilpres, pileg, dan pilkada semestinya digelar secara serentak. Sebagian besar responden lebih setuju dengan keserentakan antara pilpres, pileg, dan pilkada yang diselenggarakan pada Pemilu 2024 yang lalu. Namun, sebanyak 28,6 persen responden lebih setuju jika antara Pemilu nasional (pilpres dan pileg) dengan pilkada diselenggarakan secara tepisah pada tahun yang berbeda.
Terwujudnya Demokrasi yang Sesungguhnya
Ada beberapa pertimbangan penting, sistem penyelenggaraan Pemilu seperti apa yang akan ditetapkan dalam undang-undang Pemilu yang baru. Tentu pertimbangan yang utama adalah, Pemilu harus benar-benar menjadi pintu gerbang terwujudnya demokrasi yang sesungguhnya. Pemilu bukan hanya sekadar menjadi simbol demokrasi formal-permukaan yang jauh dari tegaknya kedaulatan, keadilan, dan perwujudan kesejahteraan rakyat. Sebab, hingga hari ini demokrasi diyakini oleh sebagian besar negara sebagai sistem politik yang mampu menghantarkan pada terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Masih menurut laporan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, angka surat suara tidak sah dalam pileg cenderung lebih tinggi dibanding pada pilpres maupun pilkada. Hal ini tentu berkaitan dengan banyaknya surat suara yang diterima pemilih saat akan menggunakan hak pilihnya. Serta dalam sistem proporsional terbuka, terdapat kerumitan yang dihadapi pemilih ketika hendak menentukan pilihan di antara jumlah partai politik peserta Pemilu serta nama dan nomor calon legislatif yang akan dicoblos.
Oleh karena itu, sistem Pemilu seperti apa yang akan ditetapkan dalam undang-undang Pemilu yang baru, ukurannya adalah terwujudnya demokrasi yang sesungguhnya. Yakni, Pemilu yang mampu menjamin tegaknya kedaulatan dan keadilan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Penguatan Nilai-nilai Demokrasi
Ada beberapa ukuran atau kriteria bagaimana Pemilu hendaknya diselenggarakan di sebuah negara demokrasi sesungguhnya. Pemilu di negara demokrasi seharuslah mencerminkan penguatan nilai-nilai demokrasi, menjamin partisipasi masyarakat secara luas dan bebas, serta memastikan hasil Pemilu yang jujur dan adil. Hal ini tentu melibatkan perlindungan hak asasi manusia, kebebasan pers, persaingan politik yang sehat antarpeserta Pemilu, serta integritas dan profesionalitas penyelenggara Pemilu.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Tidak ada pembatasan, intervensi, dan pengaruh dalam bentuk apa pun yang memengaruhi kebebasan masyarakat untuk memilih. Partisipasi politik haruslah inklusif, yakni memungkinkan semua kelompok masyarakat termasuk yang rentan dan berkebutuhan khusus dapat berpartisipasi tanpa rasa takut.
Undang-undang Pemilu yang baru haruslah menjamin iklim persaingan politik yang sehat. Peserta Pemilu harus memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan kontestasi politik.
Pada sisi lain, hasil Pemilu harus mencerminkan suara rakyat yang sesungguhnya. Proses penghitungan suara harus transparan dan akuntabel. Serta ada mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan sengketa Pemilu dan menjamin kepastian hukum. Pada titik inilah diperlukan penguatan peran dan fungsi lembaga penyelenggara Pemilu yang berintegritas dan profesional.
Mewujudkan Pemilu yang demokratis memang bukanlah perkara yang sederhana. Penyelenggaraan Pemilu agar menjadi pintu gerbang demokrasi yang sesungguhnya, tidak saja membutuhkan undang-undang Pemilu yang tepat, namun komitmen peserta Pemilu dan peyelenggara Pemilu haruslah juga semakin diperkuat. Dengan undang-undang Pemilu yang baru dan komitmen yang kuat peserta dan penyelenggara Pemilu untuk menjadikan Pemilu sebagai pintu gerbang demokrasi yang sesungguhnya, maka kita bisa berharap bagi tegaknya kedaulatan rakyat dan keadilan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai tujuan nasional. *** (Primus Supriono – Ketua KPU Kabupaten Klaten)