PEMILU SEBAGAI PINTU KEDAULATAN RAKYAT
PEMILU SEBAGAI PINTU KEDAULATAN RAKYAT
Oleh Primus Supriono*)
Terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) secara teratur menjadi ciri utama negara demokrasi. Sebab, dalam sebuah negara demokrasi, Pemilu menjadi pintu bahkan kunci terwujudnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, tidak akan ada kedaulatan rakyat tanpa melalui Pemilu yang demokratis. Pemilu menjadi instrumen dan mekanisme keterlibatan rakyat untuk ikut serta menentukan pemimpin dan arah pemerintahan suatu daerah atau negara pada periode tertentu.
Demokrasi diartikan sebagai bentuk dan sistem pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Melalui Pemilu yang demokratis, rakyat terlibat aktif dan menjadi penentu terpilihnya kepala pemerintahan dan wakil rakyat berdasarkan tata nilai yang berlaku. Partisipasi rakyat dalam Pemilu merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam pembentukan pemerintahan dan jalanannya pembangunan di semua tingkatan.
Kita memang pantas berbangga, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali. Sebuah jumlah yang terbilang banyak dan pengalaman penyelenggaraan Pemilu yang cukup panjang. Namun demikian, Pemilu yang teratur dan terus-menerus tersebut haruslah selalu dievaluasi agar sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, yakni menghasilkan pemimpin dan pemerintahan yang benar-benar sesuai kehendak rakyat.
Jauh dari Harapan
Tujuan diselenggarakannya Pemilu adalah untuk memilih kepala pemerintahan dan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka membentuk sistem pemerintahan yang demokratis dan kuat untuk mewujudkan tujuan nasional. Tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi negara, tanah air, dan seluruh rakyat, serta turut berperan aktif menjaga perdamaian dunia. Selain itu, cita-cita dibentuknya sistem pemerintahan melalui Pemilu itu adalah untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yakni masyarakat yang adil, makmur, bahagia, dan bermartabat.
Banyak kalangan menyebut Pemilu tahun 1955 sebagai Pemilu yang ideal dan paling demokratis sejak Indonesia merdeka. Pemilu yang diselenggarakan pada 29 September 1955 itu diikuti oleh 30 partai politik. Idealitas yang dibangun berdasarkan kebebasan dan pluralitas kontestan Pemilu, serta netralitas birokrasi dan militer sangat kuat pada Pemilu 1955. Di tengah persaingan ideologi yang sangat tajam kala itu, namun pada Pemilu 1955 tidak terjadi kerusuhan atau bentrok massa. Di samping itu, semua partai politik terwakili dalam badan penyelenggara Pemilu. Inilah barangkali yang menyebabkan besarnya kepercayaan antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, serta tingginya antusiasme dan partisipasi rakyat sebagai pemilih. Lebih dari itu, para pemimpin yang dihasilkannya pun dinilai mendekati kehendak rakyat.
Bagaimana dengan penyelenggaraan Pemilu setelahnya? Pemilu 1971 hingga 1999 merupakan “tragedy” dalam sebuah negara demokrasi. Sepanjang periode itu, Pemilu yang diselenggarakan banyak dituduh penuh manipulasi, kecurangan, dan pembatasan partai politik. Bahkan, Pemilu yang diselenggarakan didakwa penuh intimidasi dan mobilisasi rakyat. Pemilu dinilai hanya sebagai instrumen dan mekanisme untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan politik kelompok atau golongan tertentu.
Berbeda dengan Pemilu pada masa Orde Baru, Pemilu 2004 mempunyai makna dan momentum yang sangat penting bagi tegaknya kembali prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dibentuknya Komisi Pemilihan Umum berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah, penyelenggaraan Pemilu menjadi lebih berintegritas dan berkualitas. Mulai Pemilu 2004 rakyat merasakan bagaimana bisa memilih presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung.
Sungguh pun dari Pemilu 2004 hingga 2024 telah banyak mengalami perbaikan dan penguatan kelembagaan penyelenggara Pemilu, namun tujuan ideal Pemilu masihlah jauh dari harapan. Masih banyak kekurangan dan pelanggaran Pemilu yang mencederai demokrasi dan kehendak rakyat. Ada sebagian pengamat yang menilai, pelaksanaan Pemilu yang terbilang mahal ini terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih jika dilihat dari wakil rakyat dan kepala daerah yang dihasilkan, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita pejabat pemerintahan atau wakil rakyat terjerat kasus korupsi. Misalnya saja, hingga Desember 2016, setidaknya ada 122 orang anggota DPR dan DPRD terlibat kasus korupsi. Menurut Mendagri Tjahyo Kumolo, antara tahun 2004 hingga 2017 sedikitnya ada 313 kepala daerah menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi. Dari kurun waktu 13 tahun itu, sebanyak 56 kepala daerah telah menjadi terpidana untuk kasus yang sama.
Walaupun tidak secara langsung akibat mekanisme penyelenggaraan Pemilu, namun Pemilu sebagai sarana penegakaan kedaulatan rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, agaknya perlu selalu dievaluasi dan diperkuat secara kelembagaan. Kini pertanyaannya, bagaimana kedaulatan rakyat dapat dinyatakan melalui penyelenggaraan Pemilu sungguh-sungguh menghasilkan pemerintahan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Demokrasi Subtantif
Menurut Jeff Hayness (2000), berdasarkan penerapannya ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya.
Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kreteria sebagai sebuah negara demokrasi. Dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru semakin terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat dan dokumen-dokumen formal. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah.
Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantive, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip dasar kedaulatan rakyat betul-betul dapat terwujud. Dalam model negara demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi yang dijalankan melalui Pemilu berguna untuk menyelesaikan pertikaian secara sukarela, menjamin terjadinya perubahan secara damai, pergantian kekuasaan dengan teratur, penggunaan paksaan sedikit mungkin, pengakuan terhadap nilai keanekaragaman, menegakkan keadilan, serta memajukan ilmu pengetahuan (Henry B. Mayo, Miriam Budiardjo, eds. 1980).
KPU Merawat Demokrasi
Inilah yang menjadi perenungan, tugas, dan agenda penting penyelenggaraan Pemilu pada waktu yang akan datang. Hendaklah semua pihak berbenah untuk mewujudkan model negara demokrasi subtantif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota hendaklah semakin diperkuat perannya. Tidak hanya menjalankan fungsi dan tugas selama ada tahapan penyelenggaraan Pemilu. KPU haruslah juga berperan turut serta merawat demokrasi melalui pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan, serta melakukan pendidikan pemilih yang juga secara berkelanjutan. Dengan cara ini, maka diharapkan masyarakat memiliki pengetahuan, kecerdasan, dan kesadaran politik pada saat nanti akan menggunakan hak pilihnya.
Dengan pengetahuan, kecerdasan, dan kesadaran politik yang memadai, maka partisipasi masyarakat dalam Pemilu akan semakin meningkat secara kualitatif. Masyarakat sebagai pemilih diharapkan berani berkata tidak untuk politik uang, intimidasi, dan berbagai pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sementara itu, KPU di semua tingkatan haruslah semakin meningkatkan integritas dan profesionalismenya dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Semogra melalui upaya ini, Pemilu sungguh dapat menjadi pintu kedaulatan rakyat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana tujuan nasional. *** (Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten)