
MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PEMILU DAN PILKADA INKLUSIF BAGI PENYANDANG DISABILITAS
MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PEMILU DAN PILKADA INKLUSIF BAGI PENYANDANG DISABILITAS Oleh Primus Supriono (Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Klaten Periode 2023-2028) Hingga hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Menurut Freedom House, kini tidak kurang terdapat 123 negara demokrasi elektoral. Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada merupakan ciri utama negara demokrasi. Kita memang pantas bangga, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali. Namun demikian, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang teratur dan terus-menerus itu haruslah selalu dievaluasi untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yakni terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat. Tiga Model Negara Demokrasi Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya. Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah. Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip Pemilu dan Pikada inklusif betul-betul dapat diwujudkan. Dalam Pemilu dan Pilkada inklusif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pemilu dan Pilkada diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya. Dalam Pemilu dan Pilkada inklusif, maka penyandang disabilitas dan Lansia, mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga mempunyai persamaan dan keadilan dalam Pemilu. Persamaan Hak Politik Penyandang Disabilitas Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi adalah melalui penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang bersifat inklusif. Tantangan untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Masih terlalu banyak pelanggaran dan kekurangan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang mereduksi nilai-nilai inklusivitas dalam demokrasi. Sebut saja misalnya, belum terdata dan terlayaninya secara menyeluruh para pemilih berkebutuhan khusus terutama para penyandang disabilitas. Sesuai dengan asas umum dalam Pemilu, penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi memilih pemimpin dan wakil rakyat melalui Pemilu. Persamaan hak tersebut diatur oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selain itu, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Sementara itu, pada Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan, penyandang disabilitas memiliki hak politik yang meliputi hak: 1) Memilih dan dipilih dalam jabatan publik; 2) Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; 3) Memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam Pemilu; 4) Membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; 5) Membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; 6) Berperan serta secara aktif dalam sistem Pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; 7) Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; serta 8) Memperoleh pendidikan politik. Penyandang disabilitas mental pun memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi memilih pemimpin dan wakil rakyat melalui Pemilu dan Pilkada. Pasal 148 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan: “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara”. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi (2016), penderita gangguan jiwa dapat memperoleh hak memilih, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Selain itu, Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tidak hanya sebagai pemilih, bahkan pada Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secara tegas disebutkan: “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu”. Jenis dan Data Penyandang Disabilitas Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni disabilitas sensorik (indrawi), gerak dan fisik (keterbatasan tubuh), intelektual (keterbelakangan mental), serta mental (ingatan dan psikososial), serta ganda/multi. Namun, di lapangan jenis disabilitas diklasifikasikan ke dalam ciri fisik, yakni hambatan penglihatan, tunanetra, gangguan pendengaran dan bicara, tunarungu, tuli, cacat tubuh/fisik, keterbelakangan mental, gangguan konsentrasi, serta autis. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 22,5 juta orang. Sementara menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, ada 28,05 juta orang penyandang disabilitas. Sedangnya menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2020 sebesar 10 persen dari total penduduk, atau sekitar 27,3 juta orang. Menurut Manajer Program International Foundation for Electoral Systems (IFES) Indonesia, Erni Andriani (2019), jika disabilitas yang mempunyai hak pilih sebanyak 60%, maka di Indonesia ada sekitar 13,8 juta pemilih disabilitas. Namun disayangkan, jumlah yang besar ini belum banyak yang menggunakan hak politiknya dalam Pemilu. AGENDA (2015) melaporkan, jumlah penyandang disabilitas yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 1.292.449 orang. Jika dibandingkan dengan perkiraan total jumlah pemilih disabilitas yaitu 13,8 juta orang, maka tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 9,37%. Faktor Rendahnya Tingkat Partisipasi Penyandang Disabilitas Dengan berbagai keterbatasan fisik, sarana penunjang yang ada, serta mekanisme penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang berlangsung selama ini, warga masyarakat berkebutuhan khusus (penyandang disabilitas) sangat berpotensi kehilangan atau tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu dan Pilkada. Faktor-faktor tersebut antara lain lemahnya sistem pendataan, kurangnya pendidikan politik, kurang maksimalnya pendampingan keluarga dan komunitas, kurangnya media komunikasi sosial, serta rendahnya aksesibilitas penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu dan Pilkada. Lemahnya sistem pendataan penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu dan Pilkada, antara lain disebabkan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) pada saat melaksanakan pencocokan dan penelitian (Coklit) hanya mencocokan antara Formulir Model A-Daftar Pemilih dengan KTP-el dan atau pengakuan keluarga. Seharusnya, Pantarlih ketika melaksanakan Coklit pada setiap keluarga, menggunakan data kependudukan yang terdapat dalam Kartu Keluarga (KK). Sebab ada kecendrungan, karena merasa malu, pihak keluarga akan menutupi atau tidak mengizinkan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas ditemui atau didata oleh Pantarlih. Atau dapat juga diduga, anggota keluarga penyandang disabilitas tidak dibantu oleh pihak keluarga untuk mendapatkan KTP-el. Kelemahan lainnya dalam pendataan hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah tidak dicantumkannya keterangan jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditempel di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan tidak dicantumkannya jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih, maka penyiapan sarana pemungutan suara dan jenis pelayanan khusus yang akan diberikan kepada pemilih penyandang disabilitas tidak dapat dilakukan dengan optimal. Rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu juga disebabkan oleh lemahnya pendampingan keluarga dan peran komunitas yang menguatkan posisi dan kesetaraan hak politik mereka. Di samping itu, media komunikasi sosial dan pendidikan politik bagi penyandang disabilitas dinilai masih sangat kurang. Tidak dapat dipungkiri, rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu disebabkan oleh lemahnya mekanisme dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas terhadap proses Pemilu dan Pilkada itu sendiri. Aksesibilitas adalah segala sarana dan kemudahan yang disediakan oleh penyelenggara Pemilu dan Pilkada bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan keadilan dan kesamaan kesempatan dalam proses Pemilu. Aksesibilitas sangat diperlukaan untuk memudahkan penyandang disabilitas untuk terlibat dan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu dan Pilkada. Lemahnya mekanisme dan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam Pemilu dan Pilkada antara lain jauhnya jarak dan tidak ramahnya kondisi TPS, meja dan bilik suara terlalu tinggi dan sempit, surat suara susah dikenali, tidak ada alokasi waktu khusus untuk dilayani atau datang ke TPS, serta kurangnya dukungan keluarga dan komunitas untuk antar-jemput dan pendampingan bagi penyandang disabilitas. Meningkatkan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Sesungguhnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses Pemilu dan Pilkada adalah hak dasar yang harus diberikan negara kepada mereka. Jangan sampai penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat yang terlupakan atau terabaikan dalam pesta demokrasi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas ini tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 41 undang-undang ini antara lain disebutkan: “Setiap penyandang disabilitas, Lansia, dan wanita hamil berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus”. Jaminan aksesibilitas secara lebih khusus terdapat pada Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi: “Hak aksesibilitas untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik, dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.” Oleh karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu dan Pilkada inklusif adalah dengan cara meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu dan Pilkada. ***