Opini

MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PEMILU DAN PILKADA INKLUSIF BAGI PENYANDANG DISABILITAS

MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PEMILU DAN PILKADA INKLUSIF BAGI PENYANDANG DISABILITAS Oleh Primus Supriono (Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Klaten Periode 2023-2028)   Hingga hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Menurut Freedom House, kini tidak kurang terdapat 123 negara demokrasi elektoral. Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada merupakan ciri utama negara demokrasi. Kita memang pantas bangga, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali. Namun demikian, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang teratur dan terus-menerus itu haruslah selalu dievaluasi untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yakni terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.   Tiga Model Negara Demokrasi Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya. Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah. Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip Pemilu dan Pikada inklusif betul-betul dapat diwujudkan. Dalam Pemilu dan Pilkada inklusif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pemilu dan Pilkada diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya. Dalam Pemilu dan Pilkada inklusif, maka penyandang disabilitas dan Lansia, mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga mempunyai persamaan dan keadilan dalam Pemilu.   Persamaan Hak Politik Penyandang Disabilitas Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi adalah melalui penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang bersifat inklusif. Tantangan untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Masih terlalu banyak pelanggaran dan kekurangan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang mereduksi nilai-nilai inklusivitas dalam demokrasi. Sebut saja misalnya, belum terdata dan terlayaninya secara menyeluruh para pemilih berkebutuhan khusus terutama para penyandang disabilitas. Sesuai dengan asas umum dalam Pemilu, penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi memilih pemimpin dan wakil rakyat melalui Pemilu. Persamaan hak tersebut diatur oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selain itu, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Sementara itu, pada Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan, penyandang disabilitas memiliki hak politik yang meliputi hak: 1) Memilih dan dipilih dalam jabatan publik; 2) Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; 3) Memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam Pemilu; 4) Membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; 5) Membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; 6) Berperan serta secara aktif dalam sistem Pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; 7) Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan Pemilu, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; serta 8) Memperoleh pendidikan politik. Penyandang disabilitas mental pun memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi memilih pemimpin dan wakil rakyat melalui Pemilu dan Pilkada. Pasal 148 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan: “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara”. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi (2016), penderita gangguan jiwa dapat memperoleh hak memilih, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Selain itu, Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tidak hanya sebagai pemilih, bahkan pada Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secara tegas disebutkan: “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu”.   Jenis dan Data Penyandang Disabilitas Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni disabilitas sensorik (indrawi), gerak dan fisik (keterbatasan tubuh), intelektual (keterbelakangan mental), serta mental (ingatan dan psikososial), serta ganda/multi. Namun, di lapangan jenis disabilitas diklasifikasikan ke dalam ciri fisik, yakni hambatan penglihatan, tunanetra, gangguan pendengaran dan bicara, tunarungu, tuli, cacat tubuh/fisik, keterbelakangan mental, gangguan konsentrasi, serta autis. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 22,5 juta orang. Sementara menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, ada 28,05 juta orang penyandang disabilitas. Sedangnya menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2020 sebesar 10 persen dari total penduduk, atau sekitar 27,3 juta orang. Menurut Manajer Program International Foundation for Electoral Systems (IFES) Indonesia, Erni Andriani (2019), jika disabilitas yang mempunyai hak pilih sebanyak 60%, maka di Indonesia ada sekitar 13,8 juta pemilih disabilitas. Namun disayangkan, jumlah yang besar ini belum banyak yang menggunakan hak politiknya dalam Pemilu. AGENDA (2015) melaporkan, jumlah penyandang disabilitas yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 1.292.449 orang. Jika dibandingkan dengan perkiraan total jumlah pemilih disabilitas yaitu 13,8 juta orang, maka tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 9,37%.   Faktor Rendahnya Tingkat Partisipasi Penyandang Disabilitas Dengan berbagai keterbatasan fisik, sarana penunjang yang ada, serta mekanisme penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang berlangsung selama ini, warga masyarakat berkebutuhan khusus (penyandang disabilitas) sangat berpotensi kehilangan atau tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu dan Pilkada. Faktor-faktor tersebut antara lain lemahnya sistem pendataan, kurangnya pendidikan politik, kurang maksimalnya pendampingan keluarga dan komunitas, kurangnya media komunikasi sosial, serta rendahnya aksesibilitas penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu dan Pilkada. Lemahnya sistem pendataan penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu dan Pilkada, antara lain disebabkan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) pada saat melaksanakan pencocokan dan penelitian (Coklit) hanya mencocokan antara Formulir Model A-Daftar Pemilih dengan KTP-el dan atau pengakuan keluarga. Seharusnya, Pantarlih ketika melaksanakan Coklit pada setiap keluarga, menggunakan data kependudukan yang terdapat dalam Kartu Keluarga (KK). Sebab ada kecendrungan, karena merasa malu, pihak keluarga akan menutupi atau tidak mengizinkan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas ditemui atau didata oleh Pantarlih. Atau dapat juga diduga, anggota keluarga penyandang disabilitas tidak dibantu oleh pihak keluarga untuk mendapatkan KTP-el. Kelemahan lainnya dalam pendataan hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah tidak dicantumkannya keterangan jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditempel di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan tidak dicantumkannya jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih, maka penyiapan sarana pemungutan suara dan jenis pelayanan khusus yang akan diberikan kepada pemilih penyandang disabilitas tidak dapat dilakukan dengan optimal. Rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu juga disebabkan oleh lemahnya pendampingan keluarga dan peran komunitas yang menguatkan posisi dan kesetaraan hak politik mereka. Di samping itu, media komunikasi sosial dan pendidikan politik bagi penyandang disabilitas dinilai masih sangat kurang. Tidak dapat dipungkiri, rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu disebabkan oleh lemahnya mekanisme dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas terhadap proses Pemilu dan Pilkada itu sendiri. Aksesibilitas adalah segala sarana dan kemudahan yang disediakan oleh penyelenggara Pemilu dan Pilkada bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan keadilan dan kesamaan kesempatan dalam proses Pemilu. Aksesibilitas sangat diperlukaan untuk memudahkan penyandang disabilitas untuk terlibat dan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu dan Pilkada. Lemahnya mekanisme dan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam Pemilu dan Pilkada antara lain jauhnya jarak dan tidak ramahnya kondisi TPS, meja dan bilik suara terlalu tinggi dan sempit, surat suara susah dikenali, tidak ada alokasi waktu khusus untuk dilayani atau datang ke TPS, serta kurangnya dukungan keluarga dan komunitas untuk antar-jemput dan pendampingan bagi penyandang disabilitas.   Meningkatkan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Sesungguhnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses Pemilu dan Pilkada adalah hak dasar yang harus diberikan negara kepada mereka. Jangan sampai penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat yang terlupakan atau terabaikan dalam pesta demokrasi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas ini tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 41 undang-undang ini antara lain disebutkan: “Setiap penyandang disabilitas, Lansia, dan wanita hamil berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus”. Jaminan aksesibilitas secara lebih khusus terdapat pada Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi: “Hak aksesibilitas untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik, dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.” Oleh karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu dan Pilkada inklusif adalah dengan cara meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu dan Pilkada. ***  

MENEMUKAN KEMBALI MAKNA PENDIDIKAN POLITIK PADA KAMPANYE PEMILU

MENEMUKAN KEMBALI MAKNA PENDIDIKAN POLITIK PADA KAMPANYE PEMILU Oleh Primus Supriono (Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Klaten)   Banyak orang memaknai pemilu dan pilkada sekadar sebagai “pesta demokrasi”. Oleh karenanya, hingar-bingar kegiatan kampanye selama ini lebih diwujudkan sebagai sebuah panggung pertunjukan yang mempertontonkan sesuatu yang indah-indah dan menghibur. Aspek hiburan lebih penting daripada esensi kampanye sebagai pendidikan politik. Tidak berlebihan, jika ada sebagain orang menyebut kampanye pemilu lebih sebagai panggung sandiwara. Semua orang diberi pemahaman dan kesadaran bahwa kampanye pemilu haruslah dilaksanakan dengan suka cita dan penuh kegembiraan. Kampanye pemilu lebih ditampilkan sebagai iklan pendek yang ringan-ringan saja. Pendek kata, yang penting menghibur dan menyenangkan. Ia hanya menyuguhkan sesuatu yang serba baik-baiknya saja. Kampanye pemilu dikemas menjadi sebuah pertujukan yang menghibur, bersifat permukaan, dan kosmetis. Dalam beberapa sisi, kampanye pemilu dibumbui dengan gimmick yang lucu-lucu bahkan konyol. Di berbagai media, dengan mudah kita temukan bentuk-bentuk kampanye pemilu yang demikian. Baik di televisi, media sosial dan media cetak, maupun di berbagai poster alat peraga kampanye seringkali mempertontonkan pesan kampanye pemilu yang bersifat permukaan, lucu, dan kosmetis.   Mengubur Realitas Sekilas memang tidak salah, kampanye pemilu dimaknai dan ditampilkan dalam bentuk yang demikian. Kampanye pemilu dalam wujudnya saat ini memang bersesuaian dengan kehendak dan selera masyarakat. Himpitan dan beban kehidupan masyarakat saat ini memang membutuhkan hiburan. Masyarakat tidak suka yang sulit-sulit dan berlama-lama. Kita semua cenderung suka yang serba cepat, ringan, dan menghibur. Fenomena ini bersesuaian dengan perilaku kita dalam menggunakan gadget. Cari yang lucu-lucu, konyol, dan menghibur. Cari informasi yang pendek-pendek tapi langsung bisa tertawa terbahak-bahak. Kalau ada konten yang berat atau tidak disukai, langsung scroll, segera pindah konten yang lain. Baca berita juga hanya judulnya saja atau alinea pertama. Masyarakat suka judul-judul berita sensasi yang bombastis-hiperbolik. Bentuk kampanye pemilu yang pendek dan hanya menonjolkan sisi permukaan dan kosmetis, dapat mengubur realitas yang sesungguhnya. Model kampanye pemilu yang hanya mengeksploitasi sisi hiburannya saja, tentu jauh dari makna edukatif yang seharusnya. Kampanye pemilu yang hanya menonjolkan sisi serba instan dan ringan-ringan saja, pastilah jauh dari makna kampaye pemilu sebagai salah satu sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Padahal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Kampanye pemilu merupakan salah satu sarana pendidikan politik masyarakat yang dilakukan secara bertanggungjawab. Apa yang salah dengan kecenderungan kampanye pemilu yang menjauh dari makna pendidikan politik bagi masyarakat ini? Lalu bagaimana upaya kita menemukan kembali makna pendidikan politik dalam kegiatan kampanye pemilu?   Mengedepankan Pendidikan Politik Pascareformasi, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil menjadi sebuah pilihan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Menjaga kedaulatan rakyat sama dan sejalan dengan upaya membangun demokrasi berbasis penguatan pengetahuan politik masyarakat. Dengan demikian, kampanye pemilu haruslah mengedepankan pendidikan politik masyarakat. Kampanye pemilu bukan hanya soal kalah menang dan menggiring agar masyarakat memilih pasangan calon atau calon anggota legislatif. Kampanye pemilu mempunyai tanggung jawab melakukan pendidikan politik secara objektif dan rasional. Konsekuensi atas pelaksanaan asas penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, adalah adanya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. Kehidupan politik pascareformasi mendorong terjadinya keterbukaan informasi publik, kemerdekaan berpendapat dan menggunakan hak politiknya secara sadar dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi kata kunci dalam penguatan demokrasi melalui kampanye pemilu. Penguatan demokrasi hendaknya beriringan dengan pemberdayaan politik masyarakat melalui pendidikan politik. Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sudah sangat jelas tujuan dan fungsi partai politik mempunyai kewajiban melaksanakan pendidikan politik. Pada Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik disebutkan, rakyat harus mendapatkan pendidikan politik. Pada pasal tersebut dinyatakan, "pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara". Oleh karenanya, pendidikan politik dalam kampanye pemilu tentu bukanlah hanya bersifat gimmick yang bersifat kosmetis dan kepura-puraan. Kampanye pemilu pun bukan hanya sekadar menjelaskan visi, misi, program kerja, dan citra diri peserta pemilu. Namun, kampanye pemilu haruslah mengandung makna pembelajaran agar terbentuk kesadaran kolektif masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sesuai dengan  Pasal 34 ayat (3b) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, pendidikan politik berkaitan dengan: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendidikan politik harus dijalankan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Jadi, pendidikan politik bukan hanya sebatas sosialisasi visi, misi, program kerja, dan citra diri atau gimmick dengan tujuan menghibur, namun haruslah yang betul-betul membentuk kesadaran politik kolektif masyarakat. Pendidikan politik selain untuk membentuk kesadaran politik juga bertujuan membentuk watak atau keperibadian bangsa Indonesia atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa. Dengan demikian, kampanye pemilu haruslah digunakan sebagai upaya mendongkrak partisipasi masyarakat guna meningkatkan kualitas demokrasi dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah pekerjaan rumah yang belum selesai setiap penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Oleh karena itu, jajaran Komisi Pemilihan Umum hendaklah turut mengambil bagian dalam memberikan makna pendidikan politik bagi masyarakat pascatahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 yang lalu. ***  

MENEMUKAN KEMBALI MAKNA PENDIDIKAN POLITIK PADA KAMPANYE PEMILU

MENEMUKAN KEMBALI MAKNA PENDIDIKAN POLITIK PADA KAMPANYE PEMILU Oleh Primus Supriono (Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Klaten) Banyak orang memaknai pemilu sekadar sebagai “pesta demokrasi”. Oleh karenanya, hingar-bingar kegiatan kampanye pemilu selama ini lebih diwujudkan sebagai sebuah panggung pertunjukan yang mempertontonkan sesuatu yang indah-indah dan menghibur. Aspek hiburan lebih penting daripada esensi kampanye sebagai pendidikan politik. Tidak berlebihan, jika ada sebagain orang menyebut kampanye pemilu lebih sebagai panggung sandiwara. Semua orang diberi pemahaman dan kesadaran bahwa kampanye pemilu haruslah dilaksanakan dengan suka cita dan penuh kegembiraan. Kampanye pemilu lebih ditampilkan sebagai iklan pendek yang ringan-ringan saja. Pendek kata, yang penting menghibur dan menyenangkan. Ia hanya menyuguhkan sesuatu yang serba baik-baiknya saja. Kampanye pemilu dikemas menjadi sebuah pertujukan yang menghibur, bersifat permukaan, dan kosmetis. Dalam beberapa sisi, kampanye pemilu dibumbui dengan gimmick yang lucu-lucu bahkan konyol. Di berbagai media, dengan mudah kita temukan bentuk-bentuk kampanye pemilu yang demikian. Baik di televisi, media sosial dan media cetak, maupun di berbagai poster alat peraga kampanye seringkali mempertontonkan pesan kampanye pemilu yang bersifat permukaan, lucu, dan kosmetis.   Mengubur Realitas Sekilas memang tidak salah, kampanye pemilu dimaknai dan ditampilkan dalam bentuk yang demikian. Kampanye pemilu dalam wujudnya saat ini memang bersesuaian dengan kehendak dan selera masyarakat. Himpitan dan beban kehidupan masyarakat saat ini memang membutuhkan hiburan. Masyarakat tidak suka yang sulit-sulit dan berlama-lama. Kita semua cenderung suka yang serba cepat, ringan, dan menghibur. Fenomena ini bersesuaian dengan perilaku kita dalam menggunakan gadget. Cari yang lucu-lucu, konyol, dan menghibur. Cari informasi yang pendek-pendek tapi langsung bisa tertawa terbahak-bahak. Kalau ada konten yang berat atau tidak disukai, langsung scroll, segera pindah konten yang lain. Baca berita juga hanya judulnya saja atau alinea pertama. Masyarakat suka judul-judul berita sensasi yang bombastis-hiperbolik. Bentuk kampanye pemilu yang pendek dan hanya menonjolkan sisi permukaan dan kosmetis, dapat mengubur realitas yang sesungguhnya. Model kampanye pemilu yang hanya mengeksploitasi sisi hiburannya saja, tentu jauh dari makna edukatif yang seharusnya. Kampanye pemilu yang hanya menonjolkan sisi serba instan dan ringan-ringan saja, pastilah jauh dari makna kampaye pemilu sebagai salah satu sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Padahal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Kampanye pemilu merupakan salah satu sarana pendidikan politik masyarakat yang dilakukan secara bertanggungjawab. Apa yang salah dengan kecenderungan kampanye pemilu yang menjauh dari makna pendidikan politik bagi masyarakat ini? Lalu bagaimana upaya kita menemukan kembali makna pendidikan politik dalam kegiatan kampanye pemilu?   Mengedepankan Pendidikan Politik Pascareformasi, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil menjadi sebuah pilihan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Menjaga kedaulatan rakyat sama dan sejalan dengan upaya membangun demokrasi berbasis penguatan pengetahuan politik masyarakat. Dengan demikian, kampanye pemilu haruslah mengedepankan pendidikan politik masyarakat. Kampanye pemilu bukan hanya soal kalah menang dan menggiring agar masyarakat memilih pasangan calon atau calon anggota legislatif. Kampanye pemilu mempunyai tanggung jawab melakukan pendidikan politik secara objektif dan rasional. Konsekuensi atas pelaksanaan asas penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, adalah adanya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. Kehidupan politik pascareformasi mendorong terjadinya keterbukaan informasi publik, kemerdekaan berpendapat dan menggunakan hak politiknya secara sadar dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi kata kunci dalam penguatan demokrasi melalui kampanye pemilu. Penguatan demokrasi hendaknya beriringan dengan pemberdayaan politik masyarakat melalui pendidikan politik. Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sudah sangat jelas tujuan dan fungsi partai politik mempunyai kewajiban melaksanakan pendidikan politik. Pada Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik disebutkan, rakyat harus mendapatkan pendidikan politik. Pada pasal tersebut dinyatakan, "pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara". Oleh karenanya, pendidikan politik dalam kampanye pemilu tentu bukanlah hanya bersifat gimmick yang bersifat kosmetis dan kepura-puraan. Kampanye pemilu pun bukan hanya sekadar menjelaskan visi, misi, program kerja, dan citra diri peserta pemilu. Namun, kampanye pemilu haruslah mengandung makna pembelajaran agar terbentuk kesadaran kolektif masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sesuai dengan  Pasal 34 ayat (3b) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, pendidikan politik berkaitan dengan: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendidikan politik harus dijalankan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Jadi, pendidikan politik bukan hanya sebatas sosialisasi visi, misi, program kerja, dan citra diri atau gimmick dengan tujuan menghibur, namun haruslah yang betul-betul membentuk kesadaran politik kolektif masyarakat. Pendidikan politik selain untuk membentuk kesadaran politik juga bertujuan membentuk watak atau keperibadian bangsa Indonesia atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa. Dengan demikian, kampanye pemilu haruslah digunakan sebagai upaya mendongkrak partisipasi masyarakat guna meningkatkan kualitas demokrasi dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. ***

10 SYARAT PILKADA BERKUALITAS Oleh Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten

10 SYARAT PILKADA BERKUALITAS Oleh Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten Hingga hari ini demokrasi masih diyakini dan diharapkan sebagian besar negara sebagai sistem pemerintahan ideal yang mampu mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Terselenggaranya Pemilu yang berkualitas, teratur, dan damai menjadi salah satu ciri utama negara demokrasi modern. Kita patut bangga, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga yang mampu menyelenggarakan Pemilu secara teratur dengan keserentakan yang belum ada tandingnya. Pada 14 Februari 2024 yang lalu, kita telah melaksanakan Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada sejumlah catatan kritis yang menyertai pesta demokrasi lima tahunan ini, antara lain soal etika politik dan demokrasi, netralitas ASN dan TNI/Polri, politik uang, integritas dan profesionalisme penyelenggara Pemilu, dan sebagainya. Di penghujung proses sidang sengketa perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, pada 27 November 2024 kita akan melaksanakan Pilkada serentak di 545 daerah di Indonesia. Pilkada menjadi momentum penting perjumpaan antara kepentingan kekuasaan dengan aspirasi dan partisipasi politik warga masyarakat dalam ruang demokrasi di daerah. Pilkada menjadi instrumen politik terjadinya perebutan kekuasaan secara konstitusional. Nilai-nilai Dasar Demokrasi Pilkada sebagai bagian dari demokrasi prosedural dianggap sebagai sebuah pilihan yang tepat bagi sebuah negara dengan masyarakat yang sangat plural atau heterogen seperti Indonesia. Adalah benar, Pilkada hendaknya dimaknai dan berfungsi sebagai mekanisme integrasi bangsa. Pilkada yang berkualitas tentulah akan menyatukan berbagai perbedaan aspirasi dan kepentingan politik yang berkembang di tengah masyarakat. Pilkada yang berkualitas bukan hanya akan menyatukan, namun juga meningkatkan legitimasi politik pemerintahan daerah yang terbentuk. Penyelenggaraan Pilkada yang baik akan menghasilkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab bagi masyarakat dan masa depan daerahnya. Pilkada yang berkualitas memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu daerah. Dengan kata lain, dalam Pilkada yang berkualitas sungguh-sungguh diselenggarakan untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Dalam Pilkada yang berkualitas, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pilkada diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya. Tuntutan dan Perkembangan Demokrasi Setidaknya ada 10 prasyarat yang harus dipenuhi agar Pilkada yang akan diselenggarakan pada 27 November 2024 sungguh-sungguh berkualitas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan masyarakat. Pertama, tersedianya regulasi yang adaptif terhadap tuntutan dan perkembangan demokrasi, serta komprehensif untuk menjawab semua permasalahan Pilkada. Dan yang tak kalah pentingnya, segala peraturan perundangan tersebut haruslah tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh kelompok kepentingan. Kedua, adanya penyelenggara Pilkada yang profesional, berintegritas tinggi, dan inovatif. Tuntutan dan pekembangan demokrasi yang semakin tinggi dewasa ini membutuhkan penyelenggara Pilkada yang tidak hanya profesional, berintegritas, dan inovatif, tetapi juga haruslah tanggap dan cerdas. Penyelenggara Pilkada haruslah memastikan semua warga negara termasuk kelompok rentan dan penyandang disabilitas terdata dan terlayani hak politiknya dalam Pilkada. Ketiga, kompetensi dan komitmen peserta Pilkada yang tinggi dalam mewujudkan Pilkada yang berkualitas untuk melahirkan pemimpin yang cerdas dan amanah. Baik partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan hendaklah mengutamakan kualitas, integritas, dan komitmen pasangan calon yang diusung dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan masyarakat. Keempat, terjaminnya netralitas birokrasi/ASN, perangkat desa, serta TNI/Polri. Pilkada akan berlangsung dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil jika ditunjang oleh netralitas birokrasi/ASN, perangkat desa, serta TNI/Polri. Tanpa hal itu, maka prinsip-prinsip demokrasi sangat tidak mungkin untuk diwujudkan. Kelima, berlangsungnya pendidikan politik masyarakat yang baik. Pendidikan politik yang baik akan menghasilkan pemilih yang cerdas dan berintegritas. Tanpa hal ini, maka pemilih akan mudah terpengaruh oleh politik uang, intimidasi, berita bohong, kampanye hitam, dan hal-hal lain yang bersifat manipulatif. Keenam, adanya komitmen dan dukungan pemerintah daerah, TNI/Polri, dan kelompok-kelompok demokrasi masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada. Sementara itu, seluruh kelompok masyarakat haruslah terlibat dan dapat menikmati dalam semua tahapan penyelenggaraan dan pengawasan Pilkada. Ketujuh, terjaminnya keterbukaan informasi publik yang baik bagi masyarakat. Buah dari era reformasi adalah adanya keterbukaan informasi publik. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar dan cepat tentang rekam jejak calon, citra diri, visi, misi, dan program kerja pasangan calon yang maju dalam Pilkada. Kedelapan, ⁠adanya fungsi pengawasan dan pencegahan yang baik di setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada. Tidak hanya unsur Bawaslu yang dapat melakukan fungsi pengawasan dan pencegahan, namun berbagai lapisan masyarakat pun hendaknya berperan aktif dalam Pilkada. Kesembilan, tersedianya semua logistik Pilkada secara tepat jenis, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat waktu, dan tepat sasaran. Semua jenis logistik Pilkada seperti kotak suara, bilik suara, surat suara, dan sarana pendukungan lainnya haruslah tersedia dengan tepat dan baik. Kesepuluh, semua sistem pendukung Pilkada haruslah tersedia dan berfungsi dengan baik. Sistem aplikasi yang diperlukan untuk mendukung Pilkada seperti Sirekap, Sipol, Siakba, Silog, Sikadeka, Sidalih, serta sarana dan prasarana lainnya haruslah tersedia dan berfungsi dengan baik. Itulah sepuluh prasyarat yang harus dipenuhi agar Pilkada serentak pada 27 November 2024 yang akan datang dapat terselenggara secara berkualitas. Dengan Pilkada berkualitas, kita masih bisa berharap akan lahir pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan masyarakat. ***  

Populer

ING NGARSA SUNG TULADHA