Opini

Membangun Budaya Politik Melalui Politik Digital

  Membangun Budaya Politik Melalui Politik Digital (seri pertama membangun budaya politik) Muhammad Ansori*   Pemilu, sebagai “pesta demokrasi” merupakan momen perayaan besar sebagai sarana proses pergantian kepemimpinan yang sah dan juga memiliki nilai penting dalam perjalanan demokrasi maupun birokrasi di sebuah negara demokrasi. Demikian pula yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara penganut paham demokrasi. Dimana masyarakat memilih pemimpin secara langsung dengan diharapkan segala kebijakan dan keteladannya dapat membawa Indonesia semakin baik dari tahun ke tahun, mampu menghadirkan kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan bagi rakyatnya (Koc-Michalska & Lilleker, 2017). Selain itu para pemimpin terpilih juga bisa membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pimtu gerbang kemerdekaan dalam rangka melanjutkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang bersatu, berdaulat. adil. dan makmur. Pada sisi lain, perkembangan global terjadi sangat cepat. Baik dari segi politik, demokrasi, budaya, teknologi informasi serta berbagai bidang lainnya. Perkembangan global ini selalu berbanding lurus dengan perkembangan pengetahuan, tuntutan dan standar sosial yang ada di  masyarakat. Hal ini tidak bisa dihindari, sesuai dengan laju teknologi dan arus informasi yang makin kesini semakin cepat dan deras mengalir ke semua sendi kehidupan  masyarakat dunia – temasuk Indonesia. Bahkan teknologi informasi saat ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari hampir seluruh aspek manusia baik dalam urusan pribadi, sosial, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Sampai dengan aspek politik berbangsa dan bernegara. Diantara bukti bahwa teknologi dan informasi hampir menguasai semua sendi kehidupan masyarakat saat ini adalah dengan adanya media sosial. Keberadaan dan kepemilikan media sosial di hampir setiap individu masyarakat, lembaga, kelompok bahkan pemerintahan mampu mengubah sebagian pandangan, ekspresi bahkan ekspresi sosial masyarakat. Lebih dari itu, media sosial bahkan mampu mengubah perspektif lembaga publik dan birokrasi di seluruh dunia. Menilik hal tersebut, setiap lembaga – terutama lembaga publik, mau tidak mau harus “ngeh’ terhadap keberadaan dan perkembangan teknologi informasi terutama media sosial. Pada beberapa tahun belakangan ini sering kita dengar istilah 'politik digital' dan sudah mulai di kenal di sebagian masyarakat Indonesia, terutama di kalangan muda. Secara sederhana, politik digital merupakan aktifitas politik (dalam arti luas) yang dilakukan dan disebarkan melalui berbagai platform digital – terutama media sosial. Cara ini dirasa cukup ampuh untuk menyampaikan dan menyebarkan berbagai aktifitas politik, paham dan ideologi politik maupun komunikasi politik yang lebih praktis dan efektif karena bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa batas ruang dan waktu. Secara lebih jelas, John Postill dalam Digital Politics and Political Engagement mengungkapkan bahwa konsep politik digital dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu: 1) pemerintahan digital, 2) demokrasi digital (masyarakat, musyawarah, partisipasi), 3) kampanye digital (partai, kandidat, pemilihan umum), dan 4) mobilisasi digital (kelompok kepentingan dan gerakan sosial) (Postill, 2020). Tentu dalam berbagai hal selalu ada paradok. Politik digital selain membawa berbagai manfaat dan dampak positif, juga bisa memberi dampak negatif seperti untuk penyebaran paham-paham yang merusak demokrasi, penyebaran berita palsu, kurangnya filter atas sasaran penerima bahkan kebebasan berpendapat yang kadang kebablasan. Akan tetapi meskipun demikian, setuju atau tidak setuju, politik digital di era ini sudah menjadi bagian dari kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, semua bagian masyarakat dan terutama pemangku maupun pelaku kepentingan politik mau tidak mau harus mengambil bagian dari kemajuan ini dengan tetap membangun dan mengedepankan upaya serta informasi positif yang mampu membangun budaya politik yang baik. Demikian pula pada politik praktis pemerintahan, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, lembaga atau organisasi yang bergerak dan berkonsentrasi pada isu-isu politik dan sosial kemasyarakata maupun masyarakat sendiri harus mau dan mampu memanfaatkan kesempatan ini secara baik, agar citra dan budaya personal, lembaga atau organisasi maupun budaya bermedia di masyarakat mampu terbangun dengan baik. Seperti sering kita lihat fenomena beberapa tahun belakangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu, lembaga penyelenggara pemilu maupun beberapa pimpinan daearah yang memanfaatkan media sebagai sarana menyebarkan informasi tentang aktifitas baik maupun menyampaikan program-program mereka kepada masyarakat sasaran. Memang selalu ada penerimaan yang beragam dari kalangan masyarakat, akan tetapi jika tidak melakukan dan memanfaatkan hal ini, maka selain ketinggalan berbagai hal, sangat mungkin juga individu atau lembaga dan organisasi tersebut akan terjebak dalam  jumud politik. bersambung...    

KPU, PENDIDIKAN PEMILIH, DAN PENGUATAN DEMOKRASI

KPU, PENDIDIKAN PEMILIH, DAN PENGUATAN DEMOKRASI Oleh Primus Supriono*)   Komisi Pemilihan Umum (KPU) di semua tingkatan, adalah lembaga negara yang memiliki peran dan fungsi sebagai penyelenggara pemilihan umum di Indonesia. KPU sebagai lembaga yang bersifat independen, memiliki tugas menyelenggarakan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Peran strategis tersebut adalah dalam rangka menjamin agar proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah berlangsung secara adil, transparan, bebas, dan jujur, serta yang terpenting adalah menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat dan pemimpin yang dihasilkan. Oleh karena itu, KPU bertalian erat dengan kehidupan dan nilai-nilai demokrasi. KPU tidak hanya memiliki tugas dan kewenangan secara teknis dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tetapi juga berperan dalam upaya penguatan demokrasi. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui berbagai bentuk pendidikan pemilih berkelanjutan. Yakni, pendidikan pemilih yang dilakukan secara terus-menerus sebelum dan sesudah tahapan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Pendidikan pemilih yang hanya dilakukan selama kurang lebih 60 hari pada masa kampanye pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tentulah tidak cukup untuk menumbuhkan kesadaran kritis pemilih akan hak-hak politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Waktu 60 hari selama masa kampanye, lebih banyak digunakan sebagai kegiatan sosialisasi hari dan tanggal pemungutan suara, siapa saja yang akan dipilih, serta bagaimana cara menggunakan hak pilih dan hal-hal teknis lainnya. Sementara itu, pemahaman dan kesadaran politik mengapa kita harus menggunakan hak pilih secara bebas, serta nilai-nilai demokrasi yang hendak kita bangun melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sebagai sarana integrasi bangsa selama masa kampanye sangat sulit untuk kita dapatkan. Padahal, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah haruslah dimaknai sebagai salah satu upaya penguatan nilai-nilai demokrasi menuju masyarakat adil, makmur, dan berdaulat. Oleh karena itu, sebelum dan sesudah tahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, KPU haruslah mengambil peran pendidikan pemilih secara berkelanjutan ke berbagai kelompok sasaran.   Ciri Utama Pendidikan Pemilih Pendidikan pemilih merupakan bagian penting dalam pemilu maupun demokrasi. Memang tidak ada yang salah, mengkaitkan pendidikan pemilih hanya dengan pemilih pemula. Pemilih pemula merupakan salah satu isu penting yang menjadi perhatian baik oleh KPU maupun peserta pemilihan umum. Bagi peserta pemilihan umum, pemilih pemula berhubungan dengan perolahan suara. Sedangkan bagi KPU, pemilih pemula tentu lebih berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam pemilihan umum. Sebab, kelompok pemilih ini acapkali didakwa apatis dan dikhawatirkan penyumbang terbesar angka golput. Selain pemahaman seperti itu, pendidikan pemilih hendaknya juga ditempatkan sebagai pendidikan politik kewarganegaraan dalam rangka penguatan demokrasi. Oleh karena itu, di samping pemilih pemula, pemilih perempuan, penyandang disabilitas, golongan minoritas, orang lanjut usia, dan kelompok rentan lainnya harus menjadi prioritas sasaran pendidikan pemilih.   Dengan demikian, pendidikan pemilih merupakan proses yang harus dilakukan secara terus-menerus, tidak hanya sebatas tahapan menjelang pemungutan suara dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah oleh KPU, peserta pemilihan umum, dan kelompok masyarakat. Pendidikan pemilih haruslah lebih dipahami sebagai proses yang dilakukan secara terus-menerus agar terbangun kesadaran kritis warga negara tentang arti pentingnya pemberian suara, penentuan pilihan, dan tanggung jawab atas pilihan politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam pendidikan pemilih dapat memberikan pemahaman tentang hubungannya antara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dengan demokrasi sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, integrasi bangsa, dan pencapaian tujuan nasional. Terbangunnya kesadaran kritis dan partisipasi aktif warga negara dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sebagai penguatan nilai-nilai demokrasi haruslah menjadi ciri utama pelaksanaan pendidikan pemilih. Jika pemahaman dan pelaksanaan pendidikan pemilih dapat dijalankan demikian, maka kualitas pemilihan umum dan ujungnya juga kualitas demokrasi dapat semakin kita wujudkan. Kita mengharapkan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah bukan hanya sekadar peristiwa administratif, prosedur, dan angka. Namun lebih dari itu, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah juga upaya membangun nilai-nilai demokrasi substantif. Dalam demokrasi substantif, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam demokrasi substantif, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.   Materi Pendidikan Pemilih Agar terbangun kesadaran kritis masyarakat sekaligus partisipatif, maka beberapa materi pendidikan pemilih yang hendaknya disampaikan tentu saja yang berkaitan dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu, hak dan kewajiban politik, serta pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam penguatan nilai-nilai demokrasi. Materi pendidikan pemilih yang menarik seperti isu-isu aktual juga sangat penting untuk disampaikan dengan cara dialog dan diskusi. Jika telah memasuki masa pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, maka materi pendidikan pemilih harus juga dikaitkan dengan citra diri, visi misi, serta program dan rekam jejak calon.  Agar masyarakat mengetahui peran dan kedudukan partai politik, maka materi tentang sistem kepartaian perlu disampaikan dalam pendidikan pemilih. Masyarakat harus mengetahui mekanisme kerja partai politik serta kedudukannya dalam sistem demokrasi. Sistem kepemiluan seperti dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, pengertian dan tujuan diselenggarakannya pemilihan umum, sistem pemilihan umum, serta tahapan dalam pemilihan umum harus menjadi bagian penting dalam pendidikan pemilih. Asas demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil harus menjadi bagian terpenting dalam penyampaian materi pendidikan pemilih. Bagaimana masyarakat terlibat aktif agar asas demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum tersebut dapat diwujudkan. Pendidikan pemilih ini bertujuan agar masyarakat terbangun kesadaran kritisnya dalam rangka penguatan nilai-nilai demokrasi. Dengan pendidikan pemilih ini maka masyarakat diharapkan berani menolak politik identitas, politik uang dan berita bohong, intimidasi, serta segala bentuk adu domba. Masyarakat mampu berpikir analitis terhadap semua isu politik yang diproduksi oleh berbagai media. Melalui pendidikan pemilih yang berkelanjutan ini, maka KPU tidak hanya berperan sebagai penyelenggara teknis pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, namun juga dapat mengambil peran strategis dalam penguatan demokrasi. *** (Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten)  

MENGGIRING MASYARAKAT PARTISIPATIF (REFLEKSI PEMILIHAN TAHUN 2024)

MENGGIRING MASYARAKAT PARTISIPATIF (REFLEKSI PEMILIHAN TAHUN 2024) Perlunya peningkatan intensitas, kreativitas, dan kualitas edukasi pemilih   Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Klaten 2024, telah melalui tahapan puncak sejak dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati Klaten pada 20 Februari 2025. Ada beberapa hal yang harus dijadikan catatan pada rangkaian penyelenggaraan Pemilihan di tahun 2024 kali ini guna menjadi refleksi sekaligus evaluasi untuk perbaikan proses Pemilihan di masa mendatang. Diantara catatan tersebut antara lain, tingkat partisipasi pemilih yang datang ke TPS sebesar 81,61%. Angka ini merupakan angka yang dihitung dari banyaknya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Berdasarkan partisipasi kehadiran, memang terhitung cukup tinggi secara kuantitatif. Akan tetapi, dari angka ini masih banyak hal yang harus menjadi catatan bahkan diperlukan analisa atau penelitian lebih lanjut tentang berbagai faktor yang mendorong pemilih untuk menggunakan hak pilihnya di TPS. Dari sampling pertanyaan yang dilakukan penulis secara random melalui berbagai forum dan kesempatan, terutama beberapa simpulan pada diskusi dalam program sosialisasi hasil Pilkada 2024 dan Pendidikan Pemilih yang diadakan oleh KPU Kabupaten Klaten secara marathon di kelima Daerah Pemilihan di Klaten. Ada berbagai alasan pemilih untuk datang ke TPS. Alasan yang melatarbelakangi pemilih menggunakan hak pilihnya antara lain, pertama adalah mereka yang mengenal calon baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga mereka menaruh harapan pada para calon. Dari faktor masih bisa dipilah bahwa diantara mereka ada yang menyatakan tahu terhadap visi, misi dan program calon pemimpin mereka pada lima tahun mendatang ada pula yang sekedar mendukung karena kedekatan atau karena kedekatan. Kedua, pemilih menyalurkan hak pilihnya kepada calon tidak berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang cukup akan tetapi karena faktor ikut-ikutan (fomo) seperti yang diungkapkan oleh salah satu perwakilan dari SMA Negeri Cawas. Ketiga lain adalah adanya “iming-iming” dari para calon atau pendukung calon agar mau memberikan pilihannya pada calon tertentu. Hal ini juga terungkap pada forum yang sama dari kelima putaran Sosialisasi Hasil Pilkada Klaten 2024 dan Pendidikan Pemilih. Keempat adanya rasa faktor penasaran dan ingin merasakan pengalaman dalam pemilihan. Faktor keempat ini didominasi oleh pemilih pemula. Sayangnya diantara mereka juga tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk memilih calon tertentu. Mereka menentukan pilihan pada saat di bilik TPS dengan berbagai alasan. Selebihnya dimungkinkan masih banyak alasan lain yang mendorong pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Sayangnya lebih banyak diantara pengguna hak pilih belum paham betul apa yang menjadi visi, misi dan rencana kerja pasangan calon Ketika mereka terpilih. Indikasi ini dapat kita baca dengan banyaknya pertanyaan dari peserta diskusi tentang visi misi dan program kerja para calon – terutama Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Klaten selama 5 bahkan 25 tahun mendatang. Bahkan diantara peserta juga meminta diadakan sosialisasi kembali tentang visi, misi dan program Klaten kedepan sampai ke wilayah RT dan RW. Indikasi ini menunjukkan bahwa proses kampanye baik secara langsung oleh calon dan tim maupun melalui Partai Politik (parpol), media serta metode lain serta yang difasilitasi oleh penyelenggara pemilihan – yaitu KPU dan Bawaslu belum sebanding lurus dengan kesadaran pemilih dalam menggunakan hak suaranya di TPS. Dari catatan diatas perlu menjadi bahan perbaikan oleh partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilihan, bahwa calon pemimpin harus disiapkan jauh sebelum even pemilihan digelar dengan dibarengi pendidikan politik bagi masyarakat. Dalam kaitan hal tersebut, KPU Kabupaten Klaten merencanakan beberapa program sosialisasi dan Pendidikan pemilih di sela-sela tidak ada tahapan pemilihan. Pendidikan politik bagi pemilih sangat perlu dilakukan, jauh sebelum tahapan Pemilihan berjalan, guna menanamkan pentingnya kesadaran partisipasi dalam pemilu sejak dini sehingga terbangun kesadaran bahwa keputusan mereka di TPS pada even pemilihan akan mempengaruhi kepentingan mereka bahkan di berbagai sendi kehidupan mereka baik langsung maupun tidak langsung, terutama yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, harus dibangun kesadaran sedari awal bahwa keputusan mereka tersebut juga mempengaruhi beberapa sendi kehidupan pribadi mereka, seperti biaya hidup, biaya sekolah, lapangan pekerjaan, kemudahan menakses dan menggunakan berbagai fasilitas publik dan sebagainya. Beberapa rencana Program KPU Kabupaten Klaten dalam hal pendidikan pemilih seperti diuangkapkan diatas, diantaranya adalah KPU Goes To School/Campus. Pada pelaksanaan program ini KPU Kabupaten Klaten akan terjun ke sekolah-sekolah juga kampus yang ada di Klaten guna menanamkan dan mennumbuhkan kesadara politik anak-anak sejak dini. Agak berbeda pada saat tahapan yang juga berisi sosialisasi terkait tahapan, pada pelaksanaan program ini KPU lebih menitik beratkan pada Pendidikan dan kesadaran politik sejak dini tentang pentingnya mengenal dan menimbang para calon pemimpin, karena sebagian dari proses, hak maupun kewajiban mereka akan mereka percayakan kepada pemimpin yang terpilih. Selain turun ke sekolah/ kampus KPU Kabupaten Klaten juga membuka kesempatan bagi sekolah maupun kampus untuk datang ke KPU guna mengenal lebih dekat tentang sejarah, seluk beluk serta berbagai dinamika pemilu di Indonesia dari masa ke masa. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat maupun kelompok masyarakat Klaten lainnya. Kedua, Pendidikan politik melalui media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook dan Tik Tok serta website guna menyebarkan nilai-nilai berdemokrasi secara baik. Seperti pada program diatas, KPU Kabupaten Klaten juga membuka kesempatan sekaligus melibatkan masyarakat dalam mengisi dan menjalankan program tersebut. Sebagai contoh, KPU Kabupaten Klaten akan lebih banyak mengundang tokoh, praktisi atau aktifis masyarakat sesuai bidangnya agar pemikiran, ide maupun gagasan mereka tentang Klaten kedepan bisa tersampaikan kepada masyarakat lebih luas maupun para pemangku kebijakan Klaten melalui konten Youtube KPU Klaten yaitu DINAMIS. Ketiga, KPU Kabupaten Klaten juga merencanakan untuk Kembali menerbitkan buku yang berisi tentang sejarah KPU Kabupaten Klaten dari masa ke masa. Melalui buku ini diharapkan, selain masyarakat Klaten mengetahui perkembangan dan dinamika penyelenggaraan pemilu di Klaten juga buku ini bisa menjadi salah satu pijakan guna penyelenggaraan pemilihan yang lebih baik pada tahun-tahun berikutnya. Muhammad Ansori Kadiv. Sosdiklihparmas dan SDM KPU Kabupaten Klaten

TIDAK TERASA TELAH MENJADI SEMAKIN LIBERAL Upaya Menghidupi Kembali Demokrasi Pancasila

TIDAK TERASA TELAH MENJADI SEMAKIN LIBERAL Upaya Menghidupi Kembali Demokrasi Pancasila Oleh: Primus Supriono*)   Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. ... Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid”. Jelas bahwa sejak awal Indonesia merdeka, para pendiri bangsa ingin membangun demokrasi Indonesia yang berasaskan permusyawaratan perwakilan untuk mufakat, sebagaimana terdapat pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demokrasi khas Indonesia ini, kita hendak mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Yakni, untuk melindungi segenap suku bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bangsa Indonesia bersepakat bulat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat demokratis berdasarkan Pancasila. Itulah konsepsi dasar demokrasi Pancasila yang khas, cocok, dan disepakati untuk Indonesia. Mengenai pengertian demokrasi Pancasila, pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong” (CSIS, 1978). Kini pertanyaannya, apakah praktik politik dan wajah demokrasi kita selama ini sudah sesuai dengan pernyataan Presiden Pertama dan Kedua Republik Indonesia di atas, demokrasi berdasarkan Pancasila? Bagaimana praktik demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru, Orde Reformasi, dan saat ini?   Penyimpangan terhadap Demokrasi Pancasila Secara sederhana, demokrasi Pancasila adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila dengan berlandaskan pada semangat kekeluargaan dan gotong royong. Mahfud MD (1999) menambahkan, demokrasi Pancasila yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, merupakan demokrasi asli bangsa Indonesia yang mengedepankan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Konsep demokrasi Pancasila memang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, namun jika mufakat tidak tercapai, maka jalan pemungutan suara bisa ditempuh sesuai dengan prosedur yang berlaku. Berdasarkan pengertian itu, apa bentuk penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila pada masa Orde Lama? Banyak kalangan menilai, pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang ideal dan paling demokratis sejak Indonesia merdeka. Pemilu yang diikuti 30 partai politik itu, membangun idealitas berdasarkan kebebasan dan pluralitas kekuatan politik yang ada. Akibatnya, para pemimpin yang dihasilkannya pun dinilai mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pembubaran DPR hasil pemilu 1955 yang demokratis oleh presiden, dan pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS pada pemerintahan Orde Lama merupakan bentuk penyimpangan awal terhadap demokrasi Pancasila. Enam kali penyelenggaraan pemilu selama masa Orde Baru, bisa dianggap tidak mencerminkan demokratis Pancasila yang sesungguhnya. Praktik kooptasi terhadap ormas dan partai politik, sangat mengekang kebebasan berpendapat dan mereduksi hak-hak politik warga negara. Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru tidak dengan sungguh-sungguh mewujudkan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Penerapan kebijakan massa mengambang, mobilisasi massa, dan intimidasi terhadap kelompok masyarakat yang berseberangan politik dengan penguasa sangat kental terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu yang diselenggarakan secara rutin hanya berfungsi sebagai legitimasi politik penguasa dengan kemasan demokrasi Pancasila.   Syarat Mendirikan Partai Politik Sedangkan pada era reformasi saat ini, merupakan era sunyi dari bunyi-bunyian demokrasi Pancasila, sekaligus semakin menjauh dari praktik demokrasi Pancasila. Bahkan, dalam banyak hal, pada masa reformasi saat ini semakin nyata menuju praktik demokrasi dengan cita rasa liberal seperti di Amerika dan negara-negara Eropa. Ada sejumlah bukti yang menunjukkan kecenderungan demokrasi Pancasila telah bergeser menuju bentuk demokrasi liberal. Dari sisi produk undang-undang, setidaknya ada dua masalah pokok yang terdapat pada UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi Pancasila. Pertama, syarat untuk mendirikan partai politik dirasa sangat berat. Sebagaimana bunyi Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2011, salah satu syaratnya adalah bahwa partai politik harus didirikan oleh setidaknya 30 orang WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Jika terdapat 34 provinsi di Indonesia, maka untuk mendirikan partai politik paling tidak diperlukan 1.020 orang pendiri partai yang tersebar secara merata di seluruh provinsi. Tidak hanya itu, partai politik harus sebagai badan hukum (Pasal 3). Syarat untuk menjadikan partai politik sebagai badan hukum, adalah harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, partai politik harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir pelaksanaan pemilu. Syarat tersebut tentu sangat berat bagi partai-partai politik baru yang akan berdiri. Hanya partai-partai politik lama dengan modal besar yang dapat memenuhi persyaratan itu. Selain menghambat partisipasi politik warga negara dalam kehidupan demokrasi, syarat itu justru membuka peluang masuknya kekuatan uang untuk mempengaruhi wajah demokrasi kita. Kedua, batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik, sebagaimana diatur pada Pasal 35, adalah sebesar Rp7,5 milyar setiap perusahaan. Besarnya batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik itu, semakin menegaskan bahwa demokrasi kita telah bergeser ke arah demokrasi liberal ala demokrasi Barat. Pada sisi yang lain, kondisi itu membuka peluang praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan politik.   Menutup Keutamaan Musyawarah Mufakat Secara sederhana, ciri demokrasi liberal adalah sistem pemerintahan perwakilan rakyat, di mana penguasa dipilih secara langsung oleh rakyat secara bebas, serta dominannya kekuasaan parlemen. Dengan pengertian itu, maka penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila ke arah demokrasi cita rasa liberal pada masa reformasi juga dapat dilihat dari peristiwa dan praktik politik kita selama ini. Pertama, kewenangan dan tafsir kebebasan MPR yang berlebihan pada masa reformasi dengan melakukan amandemen berkali-kali terhadap UUD 1945. Hampir semua pasal UUD 1945 mengalami penambahan atau pengurangan. Pasal-pasal UUD 1945 yang dulu ramping, luwes dan dinamis, kini menjadi gemuk, terlalu rinci dan kaku. Postur UUD 1945 hasil amandemen itu seakan menutup keutamaan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan di parlemen tidak lagi mengutamakan musyawarah untuk mufakat dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, tetapi lebih banyak menggunakan mekanisme pemungutan suara. Peristiwa itu terjadi pertamakali pada saat pemilihan Hamzah Has menjadi wakil presiden setelah mengalahkan Akbar Tanjung dengan cara pemungutan suara. Setelah itu, kita menyaksikan betapa praktik pemungutan suara menjadi kebiasaan dalam setiap pengambilan keputusan. Kedua, pada sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini memperbesar peluang terjadinya fenomena liberalisasi politik. Dengan sistem pemilu tersebut, semakin menguat praktik money politic dan politik transaksional. Kader partai politik yang militan dan berkualitas bisa tergusur oleh kekuatan kapital atau popolarisme elektoral, dan sebagainya.   Menghidupi Demokrasi Pancasila Praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat pada masa reformasi, jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila. Selain itu, praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat tersebut, juga tidak menghadirkan nilai lebih berupa penguatan kedaulatan rakyat. Demokrasi pada masa reformasi telah melahirkan demokrasi prosedural dengan biaya tinggi. Praktik suap dan politik uang yang menjadi mata rantai tumbuhnya budaya korupsi menjadi semakin merajalela. Menilik penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila dan dampak buruk dalam praktik demokrasi cita rasa liberal di Indonesia pada masa reformasi, hendaklah dilakukan evaluasi atas sistem dan praktik politik kita. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini hendaklah dikawal agar tetap mengedepankan keutamaan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan Keputusan. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan politik haruslah semakin diperkuat dengan kemudahan mendirikan partai-partai politik yang sesuai dengan problematika riil masyarakat, dinamika, dan tantangan zaman. Kita hendak menghidupi demokrasi Pancasila yang lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang sesuai dengan jati diri dan kebanggaan bangsa. Sebab, kita tidak akan menjadi negara maju dan berdaulat jika menggunakan ukuran dan cara demokrasi yang tidak sesuai dengan budaya luhur bangsa. *** (Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten)

MEMAKNAI KPU SEBAGAI PENYANGGA DEMOKRASI

MEMAKNAI KPU SEBAGAI PENYANGGA DEMOKRASI Oleh Primus Supriono*)     Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota kini memasuki babak baru pascapelantikan 961 kepala daerah secara serentak oleh Presiden Prabowo Subianto di istana negara pada 20 Februari 2025 yang lalu. Kepala daerah pilihan rakyat sudah ditetapkan melalui pemilihan serentak tahun 2024. Pemerintahan di daerah sudah mulai bekerja melakukan pelayanan kepada masyarakat, serta menggulirkan roda pembangunan daerah. Agenda demokrasi lima tahunan itu telah usai. Seluruh tahapan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang menjadi tugas pokok dan fungsi utama KPU di semua tingkatan telah selesai. Kini pertanyaannya, apakah peran, tugas, dan tanggung jawab KPU dengan demikian juga telah usai? Peran dan tugas strategis apa yang hendaknya dilaksanakan dan dikembangkan oleh KPU pascatahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah?   Pemutakhiran Data Pemilih dan Pendidikan Politik Jawabannya sangat jelas dan tegas, yaitu belum usai. Peran dan tugas KPU sebagai salah satu penyangga demokrasi belumlah usai. Bahkan, hendaknya semakin diperkuat dan dikembangkan terutama pascatahapan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dalam mewujudkan dan memperkokoh kedaulatan rakyat. Mengapa demikian? Jika pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat, maka ia tentu membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjutan. Dinamika data kependudukan yang berpengaruh terhadap data pemilih haruslah senantiasa dimutakhirkan secara berkelanjutan. Sebab, dari data pemilih yang mutakhir dan valid ini akan mendasari berbagai kebijakan dan penataan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah pada masa yang akan datang. Kemutakhiran dan validitas data pemilih sangat mempengaruhi penatakelolaan logistik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Dari kemutakhiran dan validitas data pemilih ini juga akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dan legitimasi wakil rakyat, pemerintahan, dan kepala daerah yang terbentuk melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Lebih dari itu, perwujudan kedaulatan rakyat membutuhkan pondasi yang kokoh melalui pendidikan politik bagi pemilih secara berjenjang dan berkelanjutan. Mana mungkin kedaulatan rakyat dapat dibentuk hanya setiap lima tahun sekali pada saat penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah saja. Kedaulatan rakyat hanya dapat dibentuk melalui pendidikan politik bagi pemilih secara terus-menerus. Adalah mustahil kesadaran kolektif dalam bentuk kedaulatan rakyat dapat diwujudkan hanya selama masa kampanye pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang hanya sekitar enam puluh hari. Tidak mungkin rakyat dapat berdaulat atas pilihan politiknya hanya melalui program sosialisasi dan pendidikan pemilih saja menjelang hari pemungutan suara pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Terlalu naif jika kedaulatan rakyat hanyalah masalah teknis bagaimana rakyat menggunakan hak pilihnya pada saat hari pemungutan suara. Pilihan politik yang cerdas, bebas, dan bertanggung jawab tentulah dibangun dari sebuah proses pendidikan politik yang panjang dan terus-menerus. Inilah peran dan tugas strategis KPU yang harus dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus. Tanpa proses itu, maka demokrasi (baca: kedaulatan rakyat) hanya akan terjebak pada persoalan administratif dan prosedural. Konstruksi di permukaan tampak seolah sebagai sistem demokrasi, namun tidak didirikan di atas pondasi kebebasan, kecerdasan, dan kesadaran kolektif masyarakat demokratif.   Demokrasi Substantif Kini pertanyaan penegasnya, seberapa penting dan bermaknanya demokrasi bagi kita sebagai warga negara sehingga harus dibangun melalui pendidikan politik secara konsisten dan berkelanjutan kepada masyarakat? Sebab, hingga hari ini, demokrasi masih diyakini sebagai bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Menurut Freedom House, kini tidak kurang terdapat 123 negara demokrasi elektoral. Hanya saja persoalannya, demokrasi seperti apa yang hendaknya kita hidupi dan kembangkan? Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya. Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah. Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif betul-betul dapat diwujudkan. Dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah berhak memilih tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan berbagai keterbatasan lainnya. Dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah inklusif, maka penyandang disabilitas dan Lansia, mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus sehingga mempunyai persamaan dan keadilan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.   Peran Strategis KPU Peran dan tugas KPU untuk melaksanakan pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan dan pendidikan pemilih yang juga secara berkelanjutan, adalah upaya bagaimana agar demokrasi kita melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak terjebak pada persoalan-persoalan administratif dan prosedural semata. Melalui pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan dan pendidikan pemilih berkelanjutan, diharapkan demokrasi yang kita hidupi dan kembangkan adalah demokrasi substantif. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang dikembangkan dengan semangat demokrasi substantif, memiliki komitmen yang kuat terhadap tata kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, haruslah secara penuh menerapkan prinsip demokrasi yang hakiki. Hal ini misalnya dapat diukur dari tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan demokrasi, serta terjaminnya setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga negara. Inilah peran dan tugas strategis KPU pascatahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang harus dikembangkan dan diperkuat. Semoga melalui upaya ini, KPU dapat menjadi salah satu penyangga bagi tegaknya kedaulatan rakyat dan terwujudnya demokrasi substantif. *** (Ir. Primus Supriono, S.TP, Ketua KPU Kabupaten Klaten)  

PEMILU SEBAGAI PINTU KEDAULATAN RAKYAT

PEMILU SEBAGAI PINTU KEDAULATAN RAKYAT Oleh Primus Supriono*)     Terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) secara teratur menjadi ciri utama negara demokrasi. Sebab, dalam sebuah negara demokrasi, Pemilu menjadi pintu bahkan kunci terwujudnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, tidak akan ada kedaulatan rakyat tanpa melalui Pemilu yang demokratis. Pemilu menjadi instrumen dan mekanisme keterlibatan rakyat untuk ikut serta menentukan pemimpin dan arah pemerintahan suatu daerah atau negara pada periode tertentu. Demokrasi diartikan sebagai bentuk dan sistem pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Melalui Pemilu yang demokratis, rakyat terlibat aktif dan menjadi penentu terpilihnya kepala pemerintahan dan wakil rakyat berdasarkan tata nilai yang berlaku. Partisipasi rakyat dalam Pemilu merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam pembentukan pemerintahan dan jalanannya pembangunan di semua tingkatan. Kita memang pantas berbangga, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali. Sebuah jumlah yang terbilang banyak dan pengalaman penyelenggaraan Pemilu yang cukup panjang. Namun demikian, Pemilu yang teratur dan terus-menerus tersebut haruslah selalu dievaluasi agar sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, yakni menghasilkan pemimpin dan pemerintahan yang benar-benar sesuai kehendak rakyat.   Jauh dari Harapan Tujuan diselenggarakannya Pemilu adalah untuk memilih kepala pemerintahan dan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka membentuk sistem pemerintahan yang demokratis dan kuat untuk mewujudkan tujuan nasional. Tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi negara, tanah air, dan seluruh rakyat, serta turut berperan aktif menjaga perdamaian dunia. Selain itu, cita-cita dibentuknya sistem pemerintahan melalui Pemilu itu adalah untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yakni masyarakat yang adil, makmur, bahagia, dan bermartabat. Banyak kalangan menyebut Pemilu tahun 1955 sebagai Pemilu yang ideal dan paling demokratis sejak Indonesia merdeka. Pemilu yang diselenggarakan pada 29 September 1955 itu diikuti oleh 30 partai politik. Idealitas yang dibangun berdasarkan kebebasan dan pluralitas kontestan Pemilu, serta netralitas birokrasi dan militer sangat kuat pada Pemilu 1955. Di tengah persaingan ideologi yang sangat tajam kala itu, namun pada Pemilu 1955 tidak terjadi kerusuhan atau bentrok massa. Di samping itu, semua partai politik terwakili dalam badan penyelenggara Pemilu. Inilah barangkali yang menyebabkan besarnya kepercayaan antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, serta tingginya antusiasme dan partisipasi rakyat sebagai pemilih. Lebih dari itu, para pemimpin yang dihasilkannya pun dinilai mendekati kehendak rakyat. Bagaimana dengan penyelenggaraan Pemilu setelahnya? Pemilu 1971 hingga 1999 merupakan “tragedy” dalam sebuah negara demokrasi. Sepanjang periode itu, Pemilu yang diselenggarakan banyak dituduh penuh manipulasi, kecurangan, dan pembatasan partai politik. Bahkan, Pemilu yang diselenggarakan didakwa penuh intimidasi dan mobilisasi rakyat. Pemilu dinilai hanya sebagai instrumen dan mekanisme untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan politik kelompok atau golongan tertentu. Berbeda dengan Pemilu pada masa Orde Baru, Pemilu 2004 mempunyai makna dan momentum yang sangat penting bagi tegaknya kembali prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dibentuknya Komisi Pemilihan Umum berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah, penyelenggaraan Pemilu menjadi lebih berintegritas dan berkualitas. Mulai Pemilu 2004 rakyat merasakan bagaimana bisa memilih presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung. Sungguh pun dari Pemilu 2004 hingga 2024 telah banyak mengalami perbaikan dan penguatan kelembagaan penyelenggara Pemilu, namun tujuan ideal Pemilu masihlah jauh dari harapan. Masih banyak kekurangan dan pelanggaran Pemilu yang mencederai demokrasi dan kehendak rakyat. Ada sebagian pengamat yang menilai, pelaksanaan Pemilu yang terbilang mahal ini terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih jika dilihat dari wakil rakyat dan kepala daerah yang dihasilkan, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita pejabat pemerintahan atau wakil rakyat terjerat kasus korupsi. Misalnya saja, hingga Desember 2016, setidaknya ada 122 orang anggota DPR dan DPRD terlibat kasus korupsi. Menurut Mendagri Tjahyo Kumolo, antara tahun 2004 hingga 2017 sedikitnya ada 313 kepala daerah menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi. Dari kurun waktu 13 tahun itu, sebanyak 56 kepala daerah telah menjadi terpidana untuk kasus yang sama. Walaupun tidak secara langsung akibat mekanisme penyelenggaraan Pemilu, namun Pemilu sebagai sarana penegakaan kedaulatan rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, agaknya perlu selalu dievaluasi dan diperkuat secara kelembagaan. Kini pertanyaannya, bagaimana kedaulatan rakyat dapat dinyatakan melalui penyelenggaraan Pemilu sungguh-sungguh menghasilkan pemerintahan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.   Demokrasi Subtantif Menurut Jeff Hayness (2000), berdasarkan penerapannya ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya. Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kreteria sebagai sebuah negara demokrasi. Dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru semakin terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat dan dokumen-dokumen formal. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah. Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantive, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip dasar kedaulatan rakyat betul-betul dapat terwujud. Dalam model negara demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi yang dijalankan melalui Pemilu berguna untuk menyelesaikan pertikaian secara sukarela, menjamin terjadinya perubahan secara damai, pergantian kekuasaan dengan teratur, penggunaan paksaan sedikit mungkin, pengakuan terhadap nilai keanekaragaman, menegakkan keadilan, serta memajukan ilmu pengetahuan (Henry B. Mayo, Miriam Budiardjo, eds. 1980).   KPU Merawat Demokrasi Inilah yang menjadi perenungan, tugas, dan agenda penting penyelenggaraan Pemilu pada waktu yang akan datang. Hendaklah semua pihak berbenah untuk mewujudkan model negara demokrasi subtantif. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota hendaklah semakin diperkuat perannya. Tidak hanya menjalankan fungsi dan tugas selama ada tahapan penyelenggaraan Pemilu. KPU haruslah juga berperan turut serta merawat demokrasi melalui pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan, serta melakukan pendidikan pemilih yang juga secara berkelanjutan. Dengan cara ini, maka diharapkan masyarakat memiliki pengetahuan, kecerdasan, dan kesadaran politik pada saat nanti akan menggunakan hak pilihnya. Dengan pengetahuan, kecerdasan, dan kesadaran politik yang memadai, maka partisipasi masyarakat dalam Pemilu akan semakin meningkat secara kualitatif. Masyarakat sebagai pemilih diharapkan berani berkata tidak untuk politik uang, intimidasi, dan berbagai pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu. Sementara itu, KPU di semua tingkatan haruslah semakin meningkatkan integritas dan profesionalismenya dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Semogra melalui upaya ini, Pemilu sungguh dapat menjadi pintu kedaulatan rakyat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana tujuan nasional. *** (Primus Supriono, Ketua KPU Kabupaten Klaten)