Opini

INDONESIA BERSINAR DEMOKRASI KUAT DIMULAI DARI PEMILIH MUDA BEBAS NARKOBA

INDONESIA BERSINAR DEMOKRASI KUAT DIMULAI DARI PEMILIH MUDA BEBAS NARKOBA Oleh Luvita Eska Pratiwi   Setiap tanggal 26 Juni, dunia memperingati Hari Anti Narkoba Internasional (HANI). Peringatan ini tidak hanya menjadi rutinitas global, tetapi momentum penting untuk menyadari bahwa ancaman narkoba masih menjadi persoalan serius bagi umat manusia. Perubahan zaman melaju tanpa kompromi, membawa tantangan moral dan sosial yang tak sederhana. Dengan berbagai tantangan yang makin dinamis dan penuh tekanan tersebut, praktik demokrasi modern menghadapi permasalahan yang tak hanya muncul dari celah hukum atau kekurangan regulasi, tetapi juga dari degradasi etika dan menurunnya kesadaran kolektif sebagai warga negara. Demokrasi membutuhkan bukan hanya sistem yang kuat, tapi juga nilai yang hidup. Regulasi dan prosedur adalah fondasi, namun keberlanjutannya bergantung pada budaya politik yang sehat dan partisipasi warga yang bermartabat. Ia menuntut fondasi yang sehat, yaitu masyarakat yang bebas dari candu, generasi yang berpikir jernih, dan lingkungan yang berintegritas. Momentum ini menjadi pengingat, bahwa demokrasi yang kuat hanya dapat terwujud jika bangsa ini tumbuh dalam kesadaran kolektif untuk hidup sehat, berpikir rasional, dan menentukan pilihan tanpa tekanan maupun pengaruh destruktif.   Ancaman Nyata: Narkoba dan Demokrasi Sebagaimana tercatat dalam data BNN per akhir 2023, bahwa terdapat lebih dari 3,3 juta pengguna narkoba aktif di Indonesia. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan lebih dari 57% di antaranya berada pada kelompok usia produktif (15–35 tahun). Laporan yang sama juga mencatat bahwa Jawa Tengah menempati posisi ke-5 dalam prevalensi penyalahgunaan narkoba nasional, dengan peningkatan signifikan pada pengguna pemula di kalangan pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, catatan penting yang perlu menjadi perhatian adalah hasil penelitian dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2022), yang menyebutkan bahwa penyalahgunaan narkoba berdampak langsung terhadap penggunanya. Di antaranya adalah dalam hal pengambilan keputusan, perilaku, etika, dan keterlibatan sosial-politik seperti partisipasi dalam pemilu. Tidak hanya berdampak terhadap kesehatan individu, penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh terhadap partisipasi politiknya. Individu yang terjerat dalam lingkaran ini cenderung menunjukkan sikap apatis, rentan terhadap manipulasi politik, dan kehilangan kapasitas untuk berpartisipasi secara kritis dalam demokrasi. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi seluruh pemangku kepentingan. Sebagai penyelenggara pemilu sekaligus agen perubahan sosial, KPU dituntut untuk menjadi contoh yang proaktif dalam menciptakan ekosistem demokratis yang bersih, sehat, dan beradab. Sebab demokrasi yang kuat selalu tumbuh dari masyarakat yang sadar, jujur, dan menjaga integritas tidak hanya di bilik suara, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.     Pemilih Generasi Muda: Garda Depan Demokrasi dan Anti Narkoba Bila kita menilik data KPU Jawa Tengah, terdapat lebih dari 52% pemilih Pemilu 2024 di Jawa Tengah berada pada rentang usia 17–39 tahun. Sementara itu di Kabupaten Klaten, dengan total DPT Pilkada 2024 mencapai 973.342 pemilih, ternyata didominasi oleh dua generasi, yaitu Generasi Milenial dan Generasi X. Berdasarkan data olahan KPU Klaten generasi milenial yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996, menempati posisi teratas sebesar 29,7% dari total pemilih. Ini menunjukkan bahwa hampir 3 dari 10 pemilih berasal dari kelompok usia 28 hingga 43 tahun. Tak jauh di belakang, generasi X (usia 44–59 tahun) menyumbang 29,1%, pemilih dari kelompok yang stabil dan matang secara politik. Sementara itu, generasi Z, yang merupakan pemilih muda usia 17-27 tahun, tercatat sejumlah 203.938 orang, atau sekitar 21% dari seluruh pemilih. Ini menjadi sinyal penting, bahwa suara anak muda bukan lagi pelengkap, tetapi bisa menjadi penentu. Sebaliknya, generasi yang lebih tua seperti Baby Boomer (60–79 tahun) dan Pre-Boomer (di atas 79 tahun) masing-masing mencatatkan 18,2% dan 2%. Meski secara jumlah lebih kecil, kontribusi mereka tetap penting, terutama dalam stabilitas dan kesinambungan demokrasi. Gambar: Klasifikasi Pemilih DPT Berdasarkan Usia Sumber: KPU Kabupaten Klaten   Bisa disimpulkan bahwa Generasi Milenial dan Generasi X memiliki pengaruh yang kuat dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada di Klaten. Catatan dari BNN sebagaimana disebutkan di atas menjadi rambu-rambu bahwa kelompok usia produktif ini sekaligus menjadi yang paling rentan terhadap penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu, strategi jangka panjang pencegahan narkoba tidak bisa dilepaskan dari pendidikan politik. Pemilih muda yang sadar, cerdas, dan sehat akan menjadi pondasi demokrasi yang lebih kuat. Pemberdayaan pemilih muda dan penguatan nilai hidup bersih tanpa narkoba sepertinya menjadi dua hal yang perlu disinergikan dalam setiap kegiatan pendidikan pemilih dan forum-forum sosial lainnya.   Demokrasi Sehat, Indonesia Bersinar Perlu disadari bersama bahwa bahaya narkoba bukan sekadar isu kesehatan atau kriminalitas, tetapi juga ancaman nyata bagi kualitas demokrasi, generasi penerus, dan masa depan bangsa. Dengan kesadaran kolektif, langkah nyata, dan komitmen bersama, tentu akan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan berdaya, tempat generasi muda bisa tumbuh, memilih dengan cerdas, dan membangun masa depan yang bebas dari narkoba. Pada Peringatan Hari Anti Narkoba ini, mari wujudkan demokrasi yang sehat, partisipatif, dan berintegritas. Karena tanpa lingkungan yang bersih dari narkoba, masa depan demokrasi akan rapuh. Saatnya masyarakat bergerak, Indonesia bersinar. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal kualitas manusia yang memilih dan dipilih. Narkoba merusak pilar itu dari dalam. Maka, pemberantasan narkoba adalah bagian integral dari menjaga demokrasi tetap hidup, sehat, dan berintegritas. *** *** (Luvita Eska Pratiwi – Staf Subbagian SDM dan Partisipasi Masyarakat KPU Kabupaten Klaten)   Referensi: Laporan BNN RI 2023 Pusat Penelitian Kesehatan UI, "Dampak Sosial Penyalahgunaan Narkoba", 2022 BPS, Statistik Pemilu 2024 KPU Provinsi Jawa Tengah KPU Kabupaten Klaten

APATISME POLITIK DAN ANCAMAN DEMOKRASI

APATISME POLITIK DAN ANCAMAN DEMOKRASI Oleh: Muhammad Ansori* Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Apatis diartikan sebagai acuh tak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh.  Sedangkan menurut beberapa ahli, apatis diartikan dalam beberapa sudut pandang. Seperti pernah dikutip Ahmed dan kawan-kawan, dalam jurnal Reasons for Political Interest and Apathy Among University Students: A Qualitative Study, yang terbit pada tahun 2012 dijelaskan pandangan Solmitz tentang apatis, yaitu ketidakpedulian individu di mana seseorang tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional. Albertine Minderop juga memberikan penjelasan apatis dari sudut pandang psikologi dalam buku Psikologi Sastra (2011), yang mengartikan bahwa apatis merupakan bentuk lain dari reaksi terhadap frustrasi yang kemudian tercermin dalam sikap menarik diri seakan-akan pasrah. Sementara dari beberapa pengertian, apatis secara umum diartikan sebagai sikap kurang minat, tidak antusias, atau emosi terhadap sesuatu sehingga menunjukkan sikap diam/tidak memberikan respon baik secara emosional, sosial, maupun fisik. Dari berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa apatis merupakan sikap reaktif dari sebuah rangkaian peristiwa atau kejadian, dan bukan semata karena niatan sedari awal. Sehingga orang yang apatis cenderung memiliki pengetahuan, pengalaman atas sebuah peristiwa yang dialami secara berkali-kali. Bahkan diantara mereka yang bersikap apatis sudah melalui proses perlawanan terhadap peristiwa yang tidak sejalan dengan prinsip, pandangan atau pemikiran mereka akan tetapi belum menemukan jalan terang sehingga hal yang mereka lawan tidak sesuai harapan mereka atau yang seharusnya. Kemudian dari rangkaian hal tersebut mulai muncul rasa resah, lelah, kecewa, merasa tidak berdaya, hingga pada puncaknya mereka mengambil sikap tidak peduli. Sikap demikian bisa menjangkiti semua individu dalam berbagai isu atau kepentingan bahkan peristiwa. Baik berkaitan dengan individu, sosial kemasyarakatan, agama dan keyakinan, kebudayaan, teknologi politik dan banyak hal lain. Sikap apatis pada kontek politik – terutama politik praktis, bisa ditunjukkan melalui berbagai sikap seperti tidak peduli atau tidak mau terlibat ketika ada even politik seperti pemilihan umum, sengaja tidak menggunakan hak pilihnya di TPS (golongan putih/golput), bahkan sampai tidak peduli atas hasil Pemilu. Diantaranya juga tidak tertarik untuk terlibat dalam pembahasan atau diskusi-diskusi politik karena berpikir bahwa apapun hasil politik tidak memberikan banyak pengaruh kepada kehidupan mereka. Mereka juga apatis dan cenderung tidak percaya kepada kinerja pemerintah sebagai hasil dari proses pemilihan karena sistem yang berlaku tidak berbeda dengan sistem sebelum-sebelumnya, sehingga menganggap bahwa perubahan kepemimpinan tidak akan membawa kepada perubahan yang lebih baik. Apatis tidak terjadi tiba-tiba Tentu sikap demikian pada hal dan saat tertentu akan melemahkan sistem demokrasi, karena pangkal rusuk dari demokrasi adalah suara rakyat yang di implementasikan melalui penggunaan hak pilih di TPS. Akan tetapi, hal yang perlu sama-sama disadari adalah bahwa sikap apatis muncul bukanlah sikap yang tiba-tiba. Apatis merupakan akumulasi perasaan yang ditimbulkan karena kejadian yang berkali-kali terjadi sebelumnya. Selain, beberapa faktor lain yang bisa mendorong seseorang untuk bersikap apatis. Beberapa faktor tersebut antaralain: Faktor Individu: Peristiwa yang dialami oleh seseorang tentu sangat beragam. Akan tetapi secara garis besar, seorang individu sampai pada titik kulminasi untuk bersikap apatis secara umum bisa dikarenakan adanya akumulasi pengalaman yang dialami pada proses-proses politik sebelumnya. Misalnya, setelah berkali-kali pemilu, ternyata tidak bisa membawa dampak terhadap kehidupan pribadi dan keluarganya, masih sulitnya mencari pekerjaan, taraf hidup yang sama saja, kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik dan sebagainya. Dari perinstiwa-peristiwa tersebut kemudian dia merasa bahwa keadaan setelah proses pergantian kepemimpinan sama saja dan tidak seperti janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye. Meskipun banyak faktor penyebab, akan tetapi tidak terpenuhinya janji-janji kampanye secara berulang dapat merubah harapan individu pemilih menjadi bersikap apatis. Hal lain yang mungkin bisa mempengaruhi seorang individu bersikap apatis adalah kekalahan atas calon yang dia usung, atau banyaknya informasi negatif yang diterima secara kurang berimbang sehingga memperkuat pengambilan sikap politik seorang individu tersebut menjadi apatis. Bisa juga karena mental, kurangnya serapan informasi dan sebagainya  Faktor Lingkungan: Sebagaimana kita pahami bahwa diantara yang memberi pengaruh besar atas sikap seseorang adalah lingkungan atau pergaulan. Seseorang yang terbiasa berkumpul di lingkungan orang-orang yang kecewa akan mudah memberi pengaruh kekecewaan terhadap seorang individu. Bisa juga seseorang yang berada pada sebuah wilayah atau daerah yang merasa diperlakukan kurang adil, seperti kurang tersentuh pembangunan, tidak pernah disambangi atau diperhatikan oleh pemimpin yang terpilih dari proses pemilu, kekayaan daerah yang dikelola oleh pemerintah tidak membawa kesejahteraan kepada lingkungan dan masyarakatnya, adanya berbagai kasus yang ada di lingkungan pemerintahan terdekat serta berbagai peristiwa serupa juga mudah mempengaruhi seseorang untuk bersikap apatis. Faktor peristiwa dan kejadian Penyelenggaraan pemilihan berkali-kali tapi kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak berkurang bahkan menjadi-jadi, proses administrasi terkait kepentingan masyarakat seperti mengurus surat kependudukan, surat kendaraan, tanah yang masih ribet, pelayanan  atau kebijakan Pendidikan, kesehatan maupun sektor lain yang berbelit-belit, juga merupakan faktor munculnya sikap apatis terhadap proses politik. Selain itu, penyelenggara pemilu pada proses penyelenggaraan dinilai kurang jurdil, masih tingginya kasus money politic maupun kasus pelanggaran lain yang oleh masyarakat dianggap tidak tuntas penanganannya, adanya kecurigaan masyarakat atas terjadinya kecurangan pemilu, juga dapat memicu individu kehilangan kepercayaan terhadap proses politik dan menjadi apatis. Hal lain yang secara langsung bisa menjadi pemicu adalah arus informasi terkait perkembangan politik yang mem-bombardir lini platform media – terutama media sosial, tanpa filter yang baik dan sering menimbulkan perdebatan un-faedah serta kadang justru menyesatkan membuat masyarakat jenuh dan bingung sehingga memilih untuk tidak mau tahu dan tidak mengikuti perkembangan informasi politik yang berujung pada sikap acuh tak acuh atas segala hal yang berkaitan dengan proses dan situasi politik. Jadi, penting untuk menjadi catatan dan pengingat bahwa sikap apatis politik seringkali merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor individu, lingkungan maupun rangkaian informasi dan peristiwa yang dialami individu di masyarakat.  Pemetaan atas faktor penyebab sikap apatisme di masyarakat ini penting dilakukan guna merumuskan upaya sekaligus langkah konkrit dalam mengembangkan strategi dalam mencegah dan mengatasinya. Upaya ini tentu harus dilakukan bersama-sama dan serentak, terukur serta terarah oleh berbagai pihak pemangku kepentingan yang terlibat mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, individu pelaku politik, serta organisasi/lembaga/instansi terkait. Beberapa langkah yang harus diambil diantaranya adalah menggencarkan pendidikan politik, memperkuat literasi politik di masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat secara langsung dalam berbagai even politik, menciptakan budaya politik yang beradap, responsif serta berpihak kepada masyarakat sebagai upaya menguatkan kepercayaan masyarakat, menciptakan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, aksesibel serta efektif dan efisien. Upaya pencegahan dan penanganan oleh berbagai pihak ini harus dilakukan secara strategis agar proses demokrasi yang sudah berjalan di Indonesia tetap berjalan pada ruh demokrasi yang sebenarnya, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat**.   *Kadiv. Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM ** Beberapa upaya ini akan dijabarkan pada artikel selanjutnya.  

SEJATINYA KPU ADALAH JUGA PEJUANG DEMOKRASI

SEJATINYA KPU ADALAH JUGA PEJUANG DEMOKRASI Oleh Primus Supriono*)   Tugas pokok Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang adalah menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU bertugas merencanakan program dan anggaran pemilu, menyusun tata kerja penyelenggara pemilu, serta mengkoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilu. Namun demikian, sejatinya tugas pokok KPU tidak hanya berhenti pada pelaksanaan seluruh tahapan pemilu. Sebab, memang hendaknya KPU tidak hanya sebagai penyelenggara pemilu, namun juga sekaligus sebagai pejuang demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ujung dari seluruh pelaksanaan tahapan pemilu tersebut adalah terwujudnya nilai-nilai demokrasi. Pemilu bukan sekadar prosedur dan peristiwa administratif belaka. Pemilu bukan hanya masalah kontestasi politik. Lebih dari itu, pemilu adalah proses edukasi dan peristiwa demokrasi demi terwujudnya kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Namun persoalannya, waktu 20 bulan untuk menyelenggarakan seluruh tahapan pemilu tidaklah cukup dan memadai bagi KPU untuk membangun nilai-nilai demokrasi. Inilah pentingnya merumuskan peran strategis KPU di luar tahapan pemilu dan pilkada dalam rangka pembangunan nilai-nilai demokrasi.   Kesadaran Kolektif Masyarakat Demokratis Penguatan nilai-nilai demokrasi demi terwujudnya kedaulatan dan kesejahteraan rakyat melalui peristiwa pemilu, membutuhkan pondasi yang kokoh tentang pendidikan politik bagi pemilih secara berjenjang dan berkelanjutan di luar tahapan pemilu. Mana mungkin demokrasi demi terwujudnya kedaulatan dan kesejahteraan rakyat tersebut dapat dibentuk hanya setiap lima tahun sekali pada saat penyelenggaraan pemilu? Adalah mustahil kesadaran kolektif dalam bentuk kedaulatan rakyat dapat diwujudkan selama masa kampanye pemilu yang hanya sekitar 75 hari. Tidak mungkin rakyat betul-betul dapat berdaulat dan bertanggung jawab atas pilihan politiknya hanya melalui program sosialisasi dan pendidikan pemilih saja menjelang hari pemungutan suara pada pemilu. Adalah tidak mungkin kita dapat membentuk pemilih dengan idealisme yang kuat tentang nilai-nilai demokrasi dengan waktu dan cara yang terbatas. Bagaimana kita dapat melawan godaan money politic dan berbagai tindakan antidemokrasi hanya melalui kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih menjelang hari pencoblosan? Terlalu naif jika demokrasi dianggap hanyalah masalah teknis bagaimana rakyat menggunakan hak pilihnya pada saat hari pemungutan suara pemilu. Pilihan politik yang cerdas, bebas, dan bertanggung jawab tentulah dibangun dari sebuah proses pendidikan politik yang panjang dan terus-menerus. Inilah peran dan tugas strategis KPU yang harus dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus. Tanpa proses itu, maka demokrasi (baca: kedaulatan rakyat) hanya akan terjebak pada persoalan administratif dan prosedural. Konstruksi di permukaan tampak seolah sebagai sistem demokrasi, namun tidak didirikan di atas pondasi kebebasan, kecerdasan, dan kesadaran kolektif masyarakat demokratis.   Iklim Persaingan Politik yang Sehat Ada beberapa ukuran atau kriteria bagaimana pemilu hendaknya diselenggarakan di sebuah negara demokrasi. Pemilu di negara demokrasi seharuslah mencerminkan penguatan nilai-nilai demokrasi, menjamin partisipasi masyarakat secara luas dan bebas, serta memastikan hasil pemilu yang jujur dan adil. Hal ini tentu melibatkan perlindungan hak asasi manusia, kebebasan pers, persaingan politik yang sehat antarpeserta pemilu, serta integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.  Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Tidak ada pembatasan, intervensi, dan pengaruh dalam bentuk apa pun yang memengaruhi kebebasan masyarakat untuk memilih. Partisipasi politik haruslah inklusif, yakni memungkinkan semua kelompok masyarakat termasuk yang rentan dan berkebutuhan khusus dapat berpartisipasi tanpa rasa takut. Pemilu haruslah menjamin iklim persaingan politik yang sehat. Peserta pemilu harus memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan kontestasi politik. Pada sisi lain, hasil pemilu harus mencerminkan suara rakyat yang sesungguhnya.   Pemilu secara Langsung             Terselenggaranya pemilu secara teratur dan damai merupakan ciri utama negara demokrasi modern. Pemilu yang demikian hanya dapat terwujud jika sistem pemilu dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Barangkali tidak berlebihan, derajat tertinggi demokrasi dapat terwujud jika pemilu diselenggarakan secara langsung. Di mana rakyat dapat memilih wakil dan pemimpinnya baik nasional maupun daerah secara langsung. Tidak ada perantara bagi rakyat untuk memilih wakil dan pemimpinnya. Pemilu langsung penting karena memungkinkan rakyat menentukan sendiri pemimpinnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Ini memperkuat kedaulatan rakyat dan memastikan pemerintahan yang demokratis, partisipatif, dan bertanggung jawab. Pemilu juga merupakan mekanisme transfer kekuasaan secara damai, mencegah konflik, dan memberikan legitimasi pada pemerintah yang terpilih.  Ada beberapa alasan mengapa pemilu dengan derajat tertinggi harus dilaksanakan secara langsung. Pertama, pemilu secara langsung mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik. Rakyat memiliki hak untuk memilih dan menentukan pemimpin mereka, sehingga mereka merasa lebih terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Kedua, pemilu secara langsung memungkinkan rakyat dapat secara langsung memilih wakil dan pemimpin mereka. Ini merupakan wujud nyata kedaulatan rakyat dan memastikan bahwa pemerintah memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Pemilu secara langsung akan memperkuat legitimasi pemerintahan yang terbentuk. Ketiga, pemilu secara langsung, terutama pemilihan presiden dan wakil presiden mempertegas sistem presidensial.Yakni, di mana lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini tentu mendorong terciptanya mekanisme check and balances antara DPR dengan Presiden. Dengan terciptanya mekanisme ini, maka tidak ada satu lembaga yang terlalu dominan. Keempat, dengan rakyat memilih secara langsung pemimpin mereka, rakyat juga memiliki hak untuk mengawasi, mengawal, mengontrol, atau setidaknya memberikan saran dan kritik atas kinerja pemerintah. Dengan cara ini maka pemimpin yang terpilih langsung akan lebih terikat dan bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada partai politik atau kekuatan politik lain. Kelima, pemilu secara langsung merupakan mekanisme pergantian kekuasaan politik secara damai. Pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih merupakan pilihan mayoritas oleh rakyat sendiri melalui penyelenggaraan pemilu secara adil dan transparan. Pemilu secara langsung memberikan ruang kebebasan bagi individu untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat mereka sendiri.  Keenam, pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan rakyat untuk menentukan sendiri pemimpin di daerahnya. Pemilihan secara langsung ini memungkinkan terjalinnya hubungan yang erat antara kepala daerah dengan rakyatnya. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah secara langsung akan mendorong terselenggaranya pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatif. Pemilu secara langsung akan menjadi sarana integrasi bangsa. Pemilu demikian menjadi sarana untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan konflik politik secara damai. Oleh karena itu, buah perjuangan reformasi dalam bentuk pemilu secara langsung ini hendaklah semakin diperkokoh sebagai sarana penguatan demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Inilah pentingnya KPU mengambil peran strategis dalam pendidikan politik bagi pemilih di luar tahapan pemilu dan pemilihan kepala daerah secara berjenjang dan berkelanjutan. Dengan peran strategis ini dalam sistem pemilu dan pemilihan kepala daerah secara langsung, maka sejatinya KPU adalah juga pejuang demokrasi. *** (Primus Supriono – Ketua KPU Kabupaten Klaten)

Media Sosial, Ancaman dan Antisipasi Polarisasai Sosial Politik Di Masyarakat

Media Sosial, Ancaman dan Antisipasi Polarisasai Sosial Politik Di Masyarakat *Muhammad Ansori “Saya lagi gemes kalau mengamati media sosial tentang Indonesia saat ini” Diantara kita mungkin pernah mendengar kalimat keluh diatas dari sebagian warga masyarakat atau mungkin justru merasakan tentang berbagai fenomena dan berita yang akhir-akhir ini muncul dan membanjiri beranda di berbagai platfom media sosial, terutama berkaitan dengan isu politik. Banyak isu-isu yang menggelegar tentang berbagai keadaan yang terjadi di Indonesia yang sering kita lihat melalui beranda-beranda media sosial. Padahal ada beberapa dari kita yang tidak tahu menahu, bahkan apa pula yang ingin mengikuti berita-berita tersebut dengan berbagai alasan. Akan tetapi, tetap saja berita-berita tersebut sering tampil di beranda-beranda media sosial, sehingga membuat kita penasaran sehingga sesekali muncul rasa ingin tahu isi berita dan informasi tersebut. Sementara, ada beberapa tipe pengguna media sosial dalam menanggapi isu sosial politik yang berkembang di Tengah masyarakat. Ada diantaranya memang sangat inten mengikuti bahkan mencari (searching) tentang isu-isu terhangat, ada yang tidak mau tahu dan menghindar, ada juga sebagian yang justru menjadi sumber atau secara langsung memunculkan atau memicu sebuah isu agar jadi bahan perbincangan di masyarakat. Penyebabnyapun bisa berbagai ragam. Ada yang karena memang ingin tahu lebih banyak tentang informasi terkini, ada yang hanya ikut-ikutan dan terbawa arus, ada juga yang mencari dan mendapat manfaat secara sosial maupun ekonomi jika isu yang dimunculkan menjadi viral, banyak dilihat atau mendapat komentar dari nitizen. Sementara mesin algoritma yang ada di media sosial hanya berdasar kuantitas seberapa banyak gambar atau tayangan tersebut muncul dan menjadi perhatian publik, dan mungkin hanya sedikit yang terfilter ketika ada bahasa, gambar atau hal lain yang menyebabkan diskusi atau perdebatan di media sosial sehingga membawa dampak negatif, yang salah satunya adalah adanya polarisasi atau perpecahan di masyarakat. Dari berbagai alasan dan kepentingan tersebut, ada hal yang sangat mungkin mengiringi informasi di media sosial tersebut yaitu adanya informasi palsu (hoax) atau propaganda bahkan fitnah yang baik secara sengaja maupun tidak sengaja dikembangkan oleh seseorang atau sekelompok orang demi mendapatkan keuntungan sosial, terkenal sampai kepada keuntungan secara ekonomi, tanpa melihat bahwa apa yang mereka unggah atau sebarkan berpotensi merusak mental, menimbulkan kebencian satu dengan lain sampai pada timbulnya perpecahan pandangan baik secara ideologi, politik sehingga mengancam kenyamanan sosial masyarakat dan stabilitas keamanan negara. Meskipun Pemerintah telah berusaha membuat berbagai aturan tentang hal ini, akan tetapi masih saja kita jumpai berbagai informasi yang mengarah pada berita palsu dan ujaran kebencian. Bahkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 sudah tercantum jelas tentang aturan sampai dengan sanksi dan hukuman terkait kejahatan di dunia digital, termasuk media sosial. Seperti pada Pasal 28 ayat 1 dan 2 sudah disebutkan bahwa: Pasal 28 Ayat (1): "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik." Pasal 28 Ayat (2): "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)." Maka akan mendapatkan Ancaman Hukuman dikenai pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar (sesuai Pasal 45A UU 19/2016). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang ancaman hukuman bagi mereka penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yaitu dengan ancaman pidana 10 tahun penjara (Pasal 14 ayat 1) dan apabila masuk dalam kategori berita tidak pasti atau berlebihan bisa dikenakan ancaman 2 tahun penjara (pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946). Selain 2 undang-undang tersebut, peraturan serupa juga terdapat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Meskipun tidak spesifik mengatur tentang media sosial, namun menyentuh penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk ujaran kebencian. Peraturan lain juga tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2013 Tentang Teknis Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), memberikan panduan kepada kepolisian dalam menangani ujaran kebencian baik secara lisan, tulisan, media sosial, hingga simbol. Bahkan saat ini juga sudah terbit Undang-undang Nomor. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan mulai berlaku tahun 2026 (menggantikan beberapa pasal dalam UU ITE dan KUHP lama) tetapi tetap mengatur soal penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, dengan penekanan pada asas keadilan restoratif dan pendekatan preventif. Maka untuk menjadi kehati-hatian bagi kita semua perlu menjadi pengetahuan bersama tentang apa saja bentuk ujaran kebencian agar kita tidak terjebak atau dikarenakan ketidaktahuan kita sehingga kita tidak sadar telah melakukan ujaran kebencian atau ikut menyebarkan berita palsu. Adapun yang termasuk dalam ujaran kebencian tersebut meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong. Berbagai aturan sebagai daya control bermedia ini, meskipun dalam sudut pandang tertentu, hal ini kadang dinilai bertabrakan dengan hak dan kebebasan berekspresi, akan tetapi apapun alasannya jika yang kita sebarkan adalah berita palsu yang bernada kebencian maka hal ini akan menimbulkan dampak negatif bagi mereka yang terpapar informasi tersebut, selain itu harus disadari pula bahwa ada potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan. Untuk itu, agar media sosial tetap bisa menjadi salah satu alternatif sarana persebaran informasi maupun berbagai aktifitas baik, maka dalam menyampaikan informasi atau kegiatan di media sosial harus disertai dengan etika dan norma dalam menyampaikan informasi. Kembali lagi ditekankan bahwa diantara berbagai sarana persebaran informasi yang ada di masyarakat, media sosial telah menjadi faktor sangat signifikan. Dalam kontek dampak negatifnya, media sosial juga sangat cepat dan ampuh sebagai faktor terciptanya dan meningkatnya polarisasi di masyarakat. Hal ini dikarenakan daya jangkau media sosial menembus berbagai batasan ruang, usia, tempat dan waktu. Dalam kontek politik, media sosial juga berfungsi sebagai sarana yang baik dan efektif untuk menginformasikan berbagai hal positif, demikian juga jika digunakan untuk hal-hal negatif akan berlaku sama. Dikarenakan berbagai kemungkinan dampak tersebut, maka dalam even penyelenggaraan politik- seperti pemililhan umum, media sosial menjadi salah satu hal yang diatur secara khusus dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang penggunaan media sosial dalam berkampanye atau sosialisasi, seperti tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilu sebagaimana tertuang pada pasal 37 dan 38. Bagaimana kita seharusnya bersikap Seperti sedikit disinggung diatas bahwa sebagai bagian dari masyarakat yang sangat mungkin terpapar dampak dari bermedia sosial, perlu dimahami tentang beberapa hal, diantaranya: Mengetahui berbagai aturan dan ancaman tentang media sosial Seperti disampaikan diatas, aturan-aturan tersebut perlu diketahui masyarakat sehingga lebih bijak dalam menggunakan media sosial terutama ketika mendapatkan, membaca, mengunggah, berkomentar atas isu-isu yang menyangkut tentang sosial, politik yang berkembang di masyarakat.   Mengenali mekanisme media sosial Meskipun untuk bisa mengenali mekanisme pada media sosial perlu analisa dan pengetahuan lebih, akan tetapi bagaimana system algoritma yang muncul dari aktifitas bermedia sosial harus kita ketahui sebagai salah satu Upaya antisipasi agar kita tidak terjebak pada polarisme sebagai dampak dari media sosial.   Perlu diketahui bahwa algoritma atau grafik penggunaan media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan politik pengguna.  Jadi, pengguna akan banyak terpapar informasi yang menguatkan pandangan mereka dan sebaliknya mereka akan sedikit paparan informasi dari perspektif yang berbeda. Hal ini tentu akan memicu dan menguatkan bahwa apa yang kita nilai benar menjadi keyakinan bahwa itu benar dan mereka yang berpandangan lain akan semakin kita nilai bahwa pandangan mereka adalah salah. Dampak lanjut dari pandangan semacam ini adalah secara cepat atau lambat polarisasi sosial akan tumbuh dan terbentuk dalam diri individu pengguna media sosial. Ketika potensi polarisasi pada setiap individu sudah terbentuk maka fanatisme kita terhadap prinsip, pandangan bahkan terhadap tokoh tertentu semakin kuat dan sebaliknya kebencian kita terhadap pandangan lain yang berbeda dengan kita akan semakin kuat pula.   Pada tingkat ini, seringkali mendorong kita untuk ikut ambil bagian dalam mempertajam polarisasi tersebut dengan sekedar memberikan tanda suka, berkomentar bahkan pada tahap lanjut kita memunculkan tulisan atau informasi menyerang kepada mereka yang berpandangan lain dengan kita.   Harus disadari juga bahwa interaksi kita di media sosial seringkali terjadi dimana pengguna hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa.  Hal ini tentu akan memperkuat bias kognitif dan menghambat dialog konstruktif antar kelompok yang berbeda pendapat, yang  dalam teori sosial media sering disebut dengan "eko kamar" (echo chamber).   Saring sebelum Sharing Kalimat ini sering kita dengar bahkan sepakati. Meski demikian, pandangan dan keyakinan kita yang sudah terdapat benih polarisasi, seringkali lupa bahwa ada mekanisme cek dan ricek, menyaring, membandingkan berbagai sumber berita sebelum kita menyepakati apalagi ikut menguatkan dan menyebarluaskan atas berita yang kita terima melalui media sosial.   Yang harus disadari bahwa, media sosial menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi palsu atau hoaks sebagai upaya penggiringan opini publik. Bahkan seringkali juga kita dapati beberapa informasi yang secara terang-terangan menyerang seseorang atau kelompok tertentu, yang jika kita tidak lakukan saring berita, kita akan cepat sekali membenarkan berita tersebut jika sesuai dengan pandangan kita, sebaliknya kita akan mudah membantah informasi tersebut jika berbeda dengan pandangan kita. Efeknya, seperti disebut diatas bahwa kita akan semakin fanatik buta atau mengalami kebencian akut terhadap seseorang atau kelompok tertentu.   Lakukan kontrol terhadap diri kita atas berbagai hal dari media sosial. Bagi pengguna aktif media sosial, berselancar mencari informasi terhadap hal-hal yang kita sukai merupakan candu tersendiri. Jika kita tidak mampu melakukan kontrol atas diri kita sendiri, maka kita akan semakin rawan terkena virus polarisasi atas isu-isu yang selalu ada dan berkembang di media sosial, sehingga hal ini entah sedikit atau banyak pasti berdampak pada pandangan sosial, ideologi, politik bahkan keagamaan kita atau mempengaruhi pola hidup dan kehidupan kita sehari-hari.   Kontrol atas diri kita sendiri ini merupakan cara cukup ampuh agar kita tidak terjebak atau bahkan larut pada hal-hal negatif yang ditimbulkan dari media sosial.  Penting untuk meningkatkan literasi digital dan mengembangkan strategi untuk memoderasi konten online serta mempromosikan dialog yang konstruktif untuk mengurangi dampak negatif polarisasi politik di media sosial.   *Kadiv. Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Kabupaten Klaten

MENEMUKAN (kembali) DEMOKRASI YANG COCOK DAN KHAS INDONESIA

MENEMUKAN (kembali) DEMOKRASI YANG COCOK DAN KHAS INDONESIA Oleh Primus Supriono*)   Demokrasi adalah sebuah keniscayaan di era modern ini. Sebab, demokrasilah yang menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, kebebasan, kesetaraan, dan terwujudnya kesejahteraan. Dengan sistem ini, memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintahan, serta mengontrol kekuasaan politik agar terhindar dari tindak sewenang-wenang. Selain itu, demokrasi juga menawarkan kebebasan berekspresi individu atau kelompok, serta stabilitas dan kedamaian dalam masyarakat. Pendek kata, demokrasi merupakan solusi tata kelola pemerintahan modern. Tidak ada pintu lain selain demokrasi yang dapat mengantarkan pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Melalui jalan demokrasilah pemerintahan yang bersih, stabilitas sosial, dan kedamaian dalam masyarakat dapat tercipta. Salah satu ciri negara demokrasi adalah terselenggaranya Pemilu yang memungkinkan terjadinya pergantian kekuasaan politik secara teratur dan damai. Kita pantas berbangga, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 13 kali. Namun demikian, mengapa seakan perwujudan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita nasional masih jauh dari harapan? Jangan-jangan kita mempunyai masalah dengan kualitas demokrasi dalam setiap penyelenggaraan Pemilu? Ataukah demokrasi yang kita laksanakan saat ini tidak sesuai dengan jati diri bangsa yang khas dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia?   Kualitas Demokrasi Menurut Jeff Hayness (2000), ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan Pemilu. Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan Pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya. Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah negara demokrasi. Namun dalam banyak hal, pelaksanaan Pemilu justru terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat formal-prosedural. Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah. Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, Pemilu yang diselenggarakan memberi kesempatan yang sama kepada rakyat jelata, kaum miskin dan lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik dalam agenda politik suatu negara. Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, Pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Economist Intelligence Unit (EIU) merumuskan lima indikator untuk menentukan kualitas demokrasi suatu negara. Kelima indikator tersebut adalah proses Pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan masyarakat sipil. Berdasarkan skor demokrasi yang diraih, EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim, yakni demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter. EIU merilis laporan skor demokrasi 167 negara tahun 2020. Dengan skala 10 sebagai negara demokrasi sempurna, Norwegia memiliki skor demokrasi sebesar 9,87. Norwegia dinilai memiliki komitmen yang kuat terhadap tata kehidupan demokrasi. Bahkan, EIU menyebut Norwegia sebagai negara yang secara penuh menerapkan prinsip demokrasi. Norwegia dinilai memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan demokrasi, serta terjaminnya setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga negara. Bagaimana kualitas demokrasi Indonesia dibandingkan negara-negara lain? Dilaporkan oleh EIU, Indonesia memiliki kualitas demokrasi dengan skor yang rendah. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor demokrasi 6,30. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari tahun 2019 yang sebesar 6,48. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat atau negara demokrasi tidak sempurna.   Mengutamakan Musyawarah Mufakat Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. ... Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid”. Jelas bahwa sejak awal Indonesia merdeka, para pendiri bangsa ingin membangun demokrasi Indonesia yang berasaskan permusyawaratan perwakilan untuk mufakat, sebagaimana terdapat pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demokrasi khas Indonesia ini, kita hendak mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Yakni, untuk melindungi segenap suku bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bangsa Indonesia bersepakat bulat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat demokratis berdasarkan Pancasila. Itulah konsepsi dasar demokrasi Pancasila yang khas, cocok, dan disepakati untuk Indonesia. Mengenai pengertian demokrasi Pancasila, pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong” (CSIS, 1978). Namun demikian, semakin hari praktik demokrasi kita tanpa disadari semakin bercita rasa liberal ala Barat. Begitu dominannya tradisi voting dalam setiap pengambilan keputusan berbarengan dengan biaya politik tinggi, adalah bukti betapa semakin liberalnya praktik demokrasi kita. Hal ini jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila. Selain itu, praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat tersebut, juga tidak menghadirkan nilai lebih berupa penguatan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Pemilu sebagai pesta demokrasi cenderung melahirkan demokrasi prosedural dengan biaya tinggi. Praktik transaksional dan budaya politik uang yang menjadi mata rantai tumbuhnya korupsi menjadi semakin merajalela.   Demokrasi Substantif Khas Indonesia Dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil betul-betul hendak dilaksanakan. Dalam demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi seperti persamaan dan kesetaraan hak serta pengakuan terhadap nilai keberagaman masyarakat sungguh hendak diwujudkan. Dalam model demokrasi ini, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Tidak ada pembatasan, intervensi, dan pengaruh dalam bentuk apa pun yang memengaruhi kebebasan masyarakat untuk memilih. Partisipasi politik haruslah inklusif, yakni memungkinkan semua kelompok masyarakat termasuk yang rentan dan berkebutuhan khusus dapat berpartisipasi tanpa rasa takut. Dengan demikian, model demokrasi substantif yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Yakni, demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Oleh karena itu, dalam undang-undang Pemilu yang baru haruslah menjamin terwujudnya demokrasi substantif, serta iklim persaingan politik yang sehat. Peserta Pemilu harus memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan kontestasi politik. Menilik penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila dan dampak buruk dalam praktik demokrasi cita rasa liberal di Indonesia akhir-akhir ini, hendaklah dilakukan evaluasi atas sistem dan praktik politik kita. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini hendaklah dikawal agar tercipta demokrasi substantif dengan tetap mengedepankan keutamaan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Dengan upaya ini, maka kita dapat tetap berharap menemukan kembali demokrasi Pancasila, yakni demokrasi substantif yang cocok dan khas untuk Indonesia dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. *** (Primus Supriono – Ketua KPU Kabupaten Klaten)  

Demokrasi dan Keadilan Lingkungan

Demokrasi dan Keadilan Lingkungan (Refleksi Baik Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia) Muhammad Ansori* Demokrasi dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang sebenarnya berkaitan sangat erat, Meskipun jarang diangkat pada isu-isu publik, kecuali pada saat momen atau kejadian yang berkaitan langsung dengan masalah atau peringatan-peringatan hari yang berkaitan dengan lingkungan. Padahal yang perlu disadari bersama adalah bahwa sebenarnya keadilan lingkungan merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi yang berkelanjutan.  Tanpa keadilan lingkungan, demokrasi akan rapuh dan tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya. Sebagai contoh, pada program makan bergizi gratis (MBG) yang sedang di gencarkan oleh Pemerintah saat ini, selain membutuhkan perencanaan juga memerlukan strategi pelaksanaan yang matang karena akan melibatkan banyak pihak dari berbagai unsur yang salah satu aspek pentingnya adalah ketersediaan dan kesiapan terkait lingkungan, apalagi ketika berbicara tentang keberlanjutan program pada jangka panjang mendatang. Salah satu hal penting yang menjadi faktor utama program ini adalah tentang ketersediaan bahan makanan bergizi yang berasal dari hewan maupun tanaman. Kedua bahan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berkaitan erat dengan penyiapan lingkungan, alam yang mendukung ketersediaan dan keberlangsungan bahan utama agar program MBG ini akan berjalan secara berkelanjutan. Jika tidak dilakukan penyiapan sampai pada berbagai hal penunjang ketersediaan bahan utama tersebut, maka daya tahan program tersebut dimungkinkan tidak bertahan lama karena kurangnya bahan utama atau harus melakukan impor yang menambah anggaran yang cukup besar. MBG hanya salahsatu contoh bahwa program kebijakan tidak bisa berdiri sendiri dan selalu terkait dengan kebijakan lain, diantaranya adalah kebijakan tentang lingkungan. Sebagai contoh lain adalah kebijakan tentang pembukaan investasi diberbagai bidang, juga harus siap dengan resiko lingkungannya. Kebijakan membuka peluang pendirian pabrik harus siap dengan dampak limbah pabriknya, penambangan harus diantisipasi dampak kerusakan lingkungan, pembangunan fisik seperti pengaspalan, pembangunan  jalan bebas hambatan atau betonisasi jalan harus diimbangi dengan kesiapan tentang ancaman banjir karena berkurangnya resapan air. Meskipun kita sama-sama tahu bahwa segala proses pembangunan tersebut sudah melalui analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) atau kajian semacamnya, akan tetapi fakta dilapangan masih kita jumpai adanya dampak kebijakan yang berefek terhadap peristiwa-peristiwa kebencanaan dan kerusakan lingkungan. Berkaca dari berbagai perencanaan, program, analisa dampak dari sebuah kebijakan yang masih banyak membawa dampak resiko kurang baik – khususnya terhadap lingkungan, maka perlu adanya kajian strategi yang lebih imparsial. Kebijakan, program, pembangunan tidak lepas dari proses dan pola hidup proses kehidupan berdemokrasi yang berjalan. Beberapa penjelasan yang bisa disampaikan mengenai hubungan antara demokrasi dan keadilan lingkungan, antara lain adalah: Prinsip demokrasi yang mendukung keadilan lingkungan. Diantara prinsip demokrasi yang berlaku adalah adanya peran dan partisipasi masyarakat. Proses berdemokrasi harus memberikan ruang bagi partisipasi warga dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan. Warga yang dimungkinkan terdampak kebijakan lingkungan harus memiliki kesempatan untuk menyampaikan suara dan keprihatinan mereka. Proses pengambilan keputusan harus transparan dan akuntabel. Di Indonesia, ini dapat diwujudkan melalui konsultasi publik, musyawarah desa, dan mekanisme pengaduan. Partisipasi warga dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) sangat penting untuk memastikan keadilan lingkungan. Bukan hanya membuka ruang masyarakat untuk terlibat pada proses pembuatan kebijakan, masyarakat juga harus dilibatkan dalam pengawasan bahkan sampai pada praktik-praktik baik sebagai subyek penjaga dan pelestarian lingkungan. Sementara diberbagai lingkungan masyarakat, praktik-praktik baik ini sudah banyak dilakukan dan dijaga melalui berbagai tradisi, norma adat dan semacamnya. Prinsip kedua yang jadi bagian penting dari demokrasi adalah prinsip persamaan. Prinsip ini menuntut perlakuan yang adil bagi semua warga negara, termasuk dalam hal akses terhadap sumber daya alam dan perlindungan dari kerusakan lingkungan. Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi, atau kelompok tertentu. Adanya kelompok-kelompom masyarakat yang ikut peduli baik secara kesadaran maupun karena faktor lain harus mendapat perhatian dan keterlibatan yang lebih. Sebagai contoh, keberadaan masyarakat adat, komunitas lingkungan hidup harus dilibatkan sejak proses analisa dilakukan. Hal ini karena dalam praktiknya, komunitas atau kelompok ini lebih mengenal dan menguasai kondisi lingkungan terkait karena mereka bersentuhan dan menjaga langsung atas lingkungan yang mereka singgahi atau menjadi konsentrasi isu yang mereka jaga, yang kadang sulit ditemukan pada teori-teori lingkungan dari proses akademis. Selain kedua hal diatas, Pemerintah dan korporasi harus bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berdampak pada lingkungan sebagai pertanggungjawaban mereka terhadap akuntabilitas kepada publik atau masyarakat.  Mekanisme pengawasan yang efektif oleh masyarakat pelaku, penjaga dan komunitas terkait harus didorong, dilibatkan dan dikuatkan selain pengawasan yang dilakukan oleh lembaga resmi seperti peradilan maupun media massa. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat seringkali lebih jeli karena mereka lebih sering bersentuhan langsung. Antisipasi dan melawan tantangan dalam upaya mewujudkan keadilan lingkungan. Kelompok penguasa, kekuatan korporasi maupun elite politik, memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan terkait lingkungan. Bahkan tidak jarang kekuatan pengaruh mereka lebih besar dari masyarakat pemangku dan penjaga lingkungan itu sendiri. Sementara, kepentingan mereka lebih beragam dibanding dengan masyarakat yang selama ini menjaga dan bersentuhan langsung dengan kondisi dan situasi lingkungan yang mereka jaga langsung. ‘ Untuk itu, kepentingan penguasa dan korporasi ini perlu dikontrol dan dikendalikan oleh berbagai atauran undang-undang yang sebelumnya sudah disusun berdasarkan keterlibatan dari masyarakat. Jika tidak, bukan tidak mungkin kepentingan ekonomi, kekuasaan atau kepentingan lain bisa mengalahkan kepentingan pelestarian lingkungan itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain, terutama rusaknya lingkungan. Menguatkan Langkah strategis dalam mewujudkan keadilan lingkungan. Dengan memperkuat serta mempermudah peran dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan demokrasi, Pemberian sanksi hukum yang tegas kepada pelanggar hukum lingkungan, transparansi dan akuntabel dalam menjalankan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam merupakan beberapa langkah yang wajib dilakukan oleh para pengambil kebijakan – terutama pemerintah. Hal lain yang juga tidak boleh abai adalah perlunya kampanye dan pendidikan lingkungan guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu lingkungan. Kampanye dan pendidikan lingkungan. Dalam melaksanakan hal ini, perlu ditentukan beberapa hal agar kempanye dan pendidikan tentang lingkungan tidak sebatas formalitas, diantaranya informasi dan pesan-pesan lingkungan harus tegas dan menyasar, menentukan sasaran yang tepat melalui saluran atau media yang tepat dengan bahasa yang mudah serta mudah diingat oleh masyaraka, libatkan masyarakat secara aktif melalui berbagai kebijakan seperti gerakan Jumat bersih atau berbagai lomba dengan tema kebersihan lingkungan serta jika perlu gunakan influenser dengan menggandeng tokoh masyarakat, aktifis lingkungan, tokoh adat, artis atau orang lain yang memiliki pengaruh di masyarakat serta kuatkan komitmen dalam menjaga lingkungan melalui tauladan serta aturan aturan yang sesuai di masyarakat baik melalui Peraturan Bupati (Perbup), Peraturan Desa (Perdes) maupun kearifan lingkungan di Tingkat bawah. Di Kabupaten Klaten, ada beberapa tradisi bahkan peraturan yang mendorong tentang pelestarian lingkungan yang ditetapkan dan dilaksanakan, seperti: Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perburuan Burung, Ikan, Satwa Liar Dan Satwa Liar Lainnya, Kelurahan Kabupaten, Kecamatan Klaten Tengah yang mewajibkan pengantin untuk menebar ikan di Sungai, Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo mewajibkan menanam bibit pohon gayam sebelum melangsungkan prosesi pernikahan, Desa Pluneng, Kecamatan Kebonarum menerbitkan perdes yang mengatur tentang larangan berburu ikan dan belum dengan cara menyetrum dan menyebar obat yang dibuat sejak 2016 lalu, serta masih banyak keluarah/desa/kearifan lokal di Klaten yang bisa dijadikan contoh baik bahwa komitmen tentang menjaga dan melestarikan lingkungan bisa dikuatkan dan didorong oleh proses demokrasi melalui berbagai peraturan atau kebijakan. Lebih dari apa yang telah disampaikan diatas, perlu menjadi kesadaran bersama bahwa demokrasi dan kebijakannya bukan satu-satunya penjamin atas perlindungan dan kelestarian lingkungan. Perilaku masyarakat maupun pemerintah yang bertentangan dengan kelestarian lingkungan, seperti korupsi, keberpihakan pada investasi yang mengancam lingkungan, pola pikir yang ada di masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi faktor penghambat upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan. Komitmen bersama dari pemerintah selaku pemegang amanat demokrasi, masyarakat, dan lembaga/kelompok sipil merupakan hal wajib dilakukan dan dijaga untuk memastikan bahwa demokrasi digunakan secara efektif untuk melindungi lingkungan hidup. *Kadiv. Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, Humas dan SDM KPU Kabupaten Klaten  

Populer

ING NGARSA SUNG TULADHA